Sabtu, 15 November 2008

TB, Wabah Bisu


Perhatian dunia sejak September hingga awal November ini tersedot oleh krisis finansial global dan Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Akibatnya, banyak isu global lain penting jadi tenggelam.
Contohnya, navigasi di ujung kiri atas sampul majalah Time edisi 13 Oktober 2008 tentang pandemi TB yang melanda dunia jadi kurang menarik perhatian dibandingkan foto sampul hitam putih yang menunjukkan antrean makanan gratis di AS ketika Depresi Besar dengan judul ”The New Hard Times”. Di Indeks, mulai jelas bahwa Time menurunkan esai foto tentang tragedi TB yang seharusnya dapat dicegah karya fotografer terkenal, James Nachtwey. Fotografer ini didokumentasikan dalam film War Photographer (2001) yang merekam kiprah Nachtwey mendokumentasi kerusuhan dan reformasi di Jakarta tahun 1998.
Esai singkat Alice Park yang mengantar display foto-foto dramatis Nachtwey berjudul ”The Forgotten Plague” menyebutkan betapa tuberkulosis (kini lazim disingkat TB, bukan lagi TBC, singkatan tubercle bacillus) kini bangkit lagi sebagai ancaman baru kesehatan global. Belum juga dunia tuntas memberantas penyakit kuno yang memapar sepertiga penduduk dunia ini, kini muncul kabar buruk: munculnya superstrain bakteri TB, yang tidak hanya kebal terhadap dua jenis obat anti-TB lini pertama, tetapi juga obat lini kedua. Ini makin menyulitkan pemberantasan TB dari muka Bumi.
Artikel ”March of the TB Superstrains” yang muncul dalam majalah Harvard Public Health Review edisi musim gugur 2008 menyebutkan bahwa 5 persen dari 9 juta kasus baru infeksi TB yang terjadi setiap tahun (2 juta di antaranya mati) resisten terhadap paling tidak dua jenis obat anti-TB lini pertama, yaitu rifampicin dan isoniazid (INH). Ini lazim disebut multidrug resistant (MDR)-TB. Sedangkan strain basil TB yang resisten terhadap rifampicin dan INH maupun obat jenis kuinolon dan paling tidak satu dari obat-obat lini kedua, seperti kanamisin, kapreomisin, atau amikasin, dijuluki extensively drug-resistant (XDR)-TB.
MDR-TB muncul jika obat- obat lini pertama tidak diminum dengan taat, sedangkan XDR-TB terjadi ketika pasien TB tidak diberi obat-obat lini kedua secara memadai. Jika pasien TB biasa masih bisa disembuhkan dengan minum rifampicin dan INH secara teratur selama enam bulan, pasien MDR-TB harus minum dan disuntik sedikitnya enam jenis obat lini kedua selama dua tahun dengan biaya 100-1.000 kali lebih mahal dibandingkan obat-obat lini pertama. Efek sampingnya juga amat tak mengenakkan: pasien dapat kehilangan pendengaran, mual akut, depresi, dan psikosis.
Menurut Prof Megan Murray dari Harvard School of Public Health, yang memperoleh dana dari Institut Kesehatan Nasional AS untuk meneliti epidemiologi MDR-TB dan XDR-TB, ketika WHO mulai meneliti masalah MDR-TB tahun 1994, diduga masalah ini hanya terjadi di populasi yang kekebalan tubuhnya rapuh, seperti orang-orang dengan HIV/AIDS, pengidap kanker, dan orang jompo. Ternyata kini, strain basil TB yang kebal terhadap banyak jenis obat lebih tersebar ketimbang yang diperkirakan para pakar.
Survei global yang dilakukan WHO awal tahun 2008 menemukan MDR-TB di 72 negara dan XDR-TB di 49 negara, termasuk AS dan Indonesia. Diperkirakan muncul 40.000 kasus XDR-TB setiap tahun di seluruh dunia.
Dalam seminar 25 Tahun Program TB Pelayanan Kesehatan St Carolus, 1 November lalu, dr Aryanto Suwondo, ahli pulmonologi FKUI/RSCM, menguraikan masalah MDR-TB dan XDR-TB kini dan mendatang. Dikatakan, Indonesia saat ini menduduki peringkat ketiga dunia untuk jumlah pasien TB setelah China dan India. Tiap tahun ditemukan 108 kasus baru per 100.000 penduduk per tahun. Tingkat prevalensi TB 262 per 100.000 per tahun, dengan tingkat kematian 41 per 100.000 per tahun. Selain tingkat MDR-TB di Indonesia mencapai 1,6 persen, yang juga mengkhawatirkan adalah koinfeksi antara TB dan HIV yang mencapai 0,8 persen.
Syukurlah, menurut dr arwanto, MDR-TB dan XDR-TB dapat diobati efektif dengan terapi agresif, yaitu dideteksi dini dan diobati secara tepat.
Ini yang tak mudah. Basil TB sudah beradaptasi selama ribuan tahun, maka seperti tulis Alice Park—kita pun harus mau dan bisa beradaptasi.
Suksesnya program pemberantasan TB—seperti halnya program-program lain—dibutuhkan paduan tiga elemen: massa kritis (critical mass) berupa para tenaga kesehatan dan relawan, dana, dan kepemimpinan. Dibandingkan HIV/AIDS, massa kritis, dana, dan kepemimpinan untuk pemberantasan TB memang kalah jauh. Syukurlah Dana Global AIDS, TB, dan Malaria sudah menyetujui dana pemberantasan TB di Indonesia sebesar 93 juta dollar AS.
Alangkah indahnya jika semakin banyak pihak yang mau terlibat memberantas wabah yang terlupakan ini.




(dari Harian KOMPAS Rabu, 12 November 2008, oleh : IRWAN JULIANTO)

Tidak ada komentar: