Kamis, 20 November 2008

GLOBAL WARMING - Perubahan Iklim Akibat Pemanasan Global

Global Warming

PERUBAHAN IKLIM AKIBAT PEMANASAN GLOBAL – BAGAIMANA MENYIKAPINYA


Perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Kita sekarang menghadapi perubahan iklim akibat pemanasan global ( global warming ). Hal ini menimbulkan berbagai masalah, antara lain tenggelamnya pulau-pulau kecil serta krisis air bersih akibat naiknya permukaan air laut sebagai dampak dari mencairnya es di Greenland dan Antartika ( kutub Selatan ), punahnya berbagai jenis ikan dan rusaknya terumbu karang akibat gangguan ekosistem laut, hujan deras akibat penguapan air laut yang tinggi, sehingga terjadi banjir, longsor, serta perubahan musim tanam. Belum lagi ancaman badai tropis, tsunami, kekeringan, meningkatnya potensi kebakaran hutan, dll. Bahkan penyakit parasitik seperti malaria dan demam berdarah dengue yang disebabkan oleh nyamuk meningkat. Hal ini diakibatkan perubahan suhu yang ekstrem yang menyebabkan nyamuk lebih sering bertelur. Daerah jelajah nyamuk meluas karena daerah yang semula dingin kini menjadi lebih panas, di mana nyamuk ini berkembang biak pada daerah tropis.

Mengingat pentingnya isu ini, Kongres IPU ( Inter- Parliamentary Union ) Assembly ke 116 di Nusa Dua, Bali, 29 April – 4 Mei 2007 memasukkan topik ini dalam sesi Debat Umum dengan dengan tema utama Global Warming : ten years after Kyoto ( Pemanasan Global : 10 tahun setelah Kyoto ). Isu ini juga merupakan isu utama dalam pembahasan emergency issue-nya.
Oleh sebab itu, patut kita mengenali lebih jauh, apa yang dimaksud dengan pemanasan global dan bagaimana kita di Indonesia menyikapi dan bahkan membantu menanggulanginya.

Apakah yang disebut pemanasan global tsb ??
Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata – rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Penyebab utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara , minyak bumi, dan gas alam, yang melepas Gas Rumah Kaca ( GRK ) ke udara, yang menyebabkan Efek Rumah Kaca, yaitu proses dimana atmosfer memanaskan sebuah planet. Hal ini terjadi akibat peningkatan jumlah gas ini melebihi kemampuan tumbuhan dan laut untuk mengabsorpsinya. Seperti kita ketahui, tumbuhan memerlukan CO2 dalam aktivitas fotosintesanya.
Ada enam jenis Gas Rumah Kaca, yaitu :

- Karbondioksida ( CO2 ),
- Metana ( CH 4 ),
- Nitrous oksida ( N2O ),
- Hydro-perfluorokarbon ( HFCs ),
- Perfluorokarbon ( CFCs ),
- Sulfur Heksaflorida ( SF6 ).

Prosesnya adalah sebagai berikut. Energi yang masuk ke bumi mengalami serangkaian proses dimana 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer, 25% diserap awan, 45% diadsorpsi permukaan bumi, 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi yang diadsorpsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan, gas CO2 dan gas gas lain, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal Efek Rumah Kaca alami diperlukan untuk mengurangi perbedaan suhu antara siang dan malam. Namun dengan meningkatnya GRK terutama CO2, akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer sehingga suhu permukaan bumi meningkat.

Bagaimana Dunia Menyikapinya ?
Isu pemanasan global ini bukanlah isu baru bagi dunia, dimana gagasan dan program menurunkan emisi secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979 dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu United Nation Framework Convention on Climate Change ( UNFCC )/ Konvensi Kerangka Kerja PBB Tentang Perubahan Iklim atau lazim disebut Konvensi Perubahan Iklim. Konvensi ini disahkan di Rio de Janeiro pada 14 Mei 1992 sebagai salah satu komitmen dalam KTT Bumi, dan mulai berlaku 21 Maret 1994. Pemerintah Indonesia mengesahkannya melalui UU no 6 tahun 1994. Melalui konvensi ini Negara Annex 1 ( negara – negara industri termasuk Rusia dan Negara Eropa Timur lain yang ekonominya berada dalam transisi menuju ekonomi bebas ) diminta untuk melakukan upaya mitigasi ( pengurangan ) terhadap emisi GRK melalui pengembangan program nasional serta inventarisasi GRK.

Desember 1997, dari hasil COP 3 ( Conference of Parties ) / Konferensi Negara Pihak ke 3 , di Kyoto, Jepang, Protokol Kyoto disahkan sebagai dasar bagi Negara Annex 1 untuk mengurangi emisi GRK minimal 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang komitmen periode pertama tahun 2008-2012. Target penurunan emisi ini disebut Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives ( QELROs) dan diatur pada Annex B Protokol Kyoto. Indonesia sudah meratifikasi Protokol Kyoto tanggal 28 Juli 2004 melalui UU no 17/2004. Sampai sekarang, Amerika Serikat yang menjadi Negara penghasil terbesar GRK ( 25% dari keseluruhan GRK ) dan Australia menolak meratifikasi protokol ini. Amerika menolak dengan alasan bahwa pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan menggantinya dengan gas akan memberi dampak negatif bagi perekonomiannya.

Protokol Kyoto mulai berlaku efektif pada tahun 2005 setelah Rusia meratifikasinya tahun 2004. Ada tiga mekanisme pemenuhan komitmen Negara Annex 1 untuk menurunkan target emisinya, yaitu melalui :
- Joint Implementation ( JI ) / Implementasi Bersama,
- Emission Trading ( ET ) / Perdagangan Emisi atau sering disebut sebagai Perdagangan Karbon dan
- Clean Development Program ( CDM ) / Mekanisme Pembangunan Bersih ( MPB ) .

JI mengatur pengalihan unit pengurangan emisi yang diperoleh dari satu kegiatan di negara maju ke negara maju lain yang biaya penurunan emisinya lebih rendah dan banyak diterapkan di negara – negara Eropa Timur serta negara ex Uni Sovyet. JI akan menghasilkan Emission Reduction Unit ( ERU )/ Unit Penurunan Emisi.

ET yang lazim disebut Perdagangan karbon pada prinsipnya adalah proses jual beli emisi CO2. Negara Annex II ( negara berkembang termasuk Indonesia ) yang tidak berkewajiban menurunkan emisi CO2 dapat berusaha menurunkan emisi tsb. Jumlah penurunannyai dijual kepada negara Annex 1 sebagai upaya agar mampu mencapai target QELROs nya. GRK utama adalah CO2 oleh sebab itu GRK lain dihitung dalam ekivalensi terhadap CO2, misalnya potensi pemanasan global gas metan ( CH4 ) ekivalen dengan 25 molekul CO2.

CDM dirancang untuk memberikan aturan terhadap kegiatan proyek yang dapat menghasilkan pengurangan emisi yang disertifikasi ( Certified Emission Reduction / CER ). Hal ini merupakan satu satunya mekanisme yang mengikutsertakan negara berkembang. Melalui proyek CDM, Negara Annex 1 mendapatkan keuntungan dengan melakukan penurunan emisi dengan harga relatif lebih murah daripada bila mengembangkan proyek tsb di negara mereka. Negara berkembang sebagai tuan rumah CDM mendapatkan keuntungan berupa bantuan keuangan, transfer teknologi dalam pengembangan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan ( renewable energy ). Setelah suatu proyek terbukti dapat menurunkan emisi GRK, negara Annex 1 tsb mendapatkan kredit point yang disebut CER yang dihitung sebagai emisi yang berhasil diturunkan oleh negara Annex 1.

Bagaimana dengan Indonesia ??
Bagaimana pemerintah merespon isu pemanasan global ini ?
Terkait dengan Kongres IPU Assembly ke 116.
Terkait dengan kongres IPU Assembly ke 116 di Bali 29 April – 4 Mei 2007, ada beberapa isu yang menjadi kepentingan negara berkembang termasuk Indonesia terkait UNFCC dan Kyoto Protokol, antara lain :

- proses pembahasan pengurangan emisi melalui penanggulangan deforestasi ( penebangan hutan )

- penyediaan sumber dana untuk Negara berkembang melalui mekanisme Global Environment Facilities ( GEF ), mekanisme dana khusus untuk perubahan iklim ( Special Climate Change Fund ), dana adaptasi ( Adaptation Fund )

- pelaksanaan proyek – proyek CDM.

Selain itu tanggal 3 – 14 Desember 2007 mendatang Indonesia menjadi tuan rumah Sidang COP 13 ( Conference of Parties ) / MOP 3 ( Meeting of Parties ) UNFCC / Kyoto Protocol, dimana diharapkan akan terbentuk roadmap bagi masa depan pelaksanaan Protokol Kyoto pasca tahun 2012 ( tahap kedua ). COP/MOP merupakan lembaga tertinggi pengambil keputusan protocol.
CDM / MPB ( Mekanisme Pembangunan Bersih )

Mekanisme ini pada dasarnya merupakan perdagangan karbon, dimana sebagai bukti bahwa proyek tersebut telah menurunkan emisi gas rumah kaca, akan diterbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi (Certified Emission Reductions-CERs) oleh Badan Eksekutif MPB ( CDM Executive Board ) yang kemudian dapat dijual oleh negara berkembang ke negara maju. Berdasarkan perhitungan, potensi CDM di Indonesia tahun 2008 – 2012 adalah 125 – 300 juta ton CO2 dengan harga per tonnya $ 1.50 - $ 5.50.

Untuk pelaksanaan proyek CDM / MPB , Indonesia telah membentuk Designated National Authority ( DNA ) atau Otoritas Nasional yaitu Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih ( Komnas MPB atau KNMPB ) melalui Kepmen LH no 206 / 2005 sebagai otoritas pemberi persetujuan nasional bagi proyek – proyek CDM. Sejak pembentukannya, KNMPB telah memberikan persetujuan nasional kepada 6 proyek CDM, dua di antaranya dalam tahap registrasi di tingkat internasional oleh Executive Board dan 8 aplikasi proyek dalam tahap evaluasi.
Adapun proyek di Bali yang masuk menjadi proyek CDM adalah Indonesia Integrated Solid Waste Management dengan pengoperasian mesin GALFAD ( Gasification, Landfill gas and Anaerobic Digestion ) di TPA Suwung dan Bali Biomass Power Project.
Sampai tahun 2007, Indonesia telah menandatangani MOU dengan empat negara annex 1 yaitu Denmark, Kanada, Belanda dan Austria.Sektor yang bisa berpartisipasi dalam CDM / MPB adalah :

- Energi ( pembakaran bahan bakar ), misal proyek bis umum di perkotaan, proyek penerangan di pedesaan, pengembangan biofuel dengan pohon jarak dll.
- Proses industri ( produk mineral, kimia, logam, dll )
- Penggunaan bahan pengencer / solvent dan produk lain, ( penanaman padi, pengelolaan kotoran hewan dll )
- Sampah ( termasuk TPA )
- Tata guna lahan ( aforestasi, reforestasi hutan dll )

Dalam pengembangan energi terbarukan, termasuk Bahan Bakar Nabati ( BBN ), pemerintah akan memberikan insentif bagi investor yang akan menanamkan modal di usaha biodiesel seperti keringanan pajak dan bea masuk barang modal.
Penasihat PM Inggris untuk Perubahan Iklim Nicholas Stern mengatakan bahwa Indonesia perlu melakukan langkah segera untuk menekan laju deforestasi, mengingat dari 18% emisi CO2 akibat deforestasi, Indonesia menyumbang 6% nya. Secara global Indonesia berada di peringkat ke 3 negara penyumbang emisi karbon di bawah Amerika Serikat dan Cina. Proyek CDM dapat membantu Indonesia dalam menekan laju deforestasi.

Pelestarian Lingkungan
Tahun 2007, Bali merehabilitasi 250 hektar dari total 4.000 hektar hutan mangrovenya di lima wilayah yaitu Denpasar, Kabupaten Badung, Jembrana, Buleleng dan Klungkung, dengan bantuan JICA ( Japan International Cooperation Agency ). Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi tsunami mengingat mangrove sangat efektif meredam tsunami. Ini merupakan upaya konkrit dalam mengurangi dampak pemanasan global yang dapat pula menyebabkan tsunami.
Penerapan Tri Hita Karana sebagai wujud peran masyarakat dalam melestarikan alamnya. Konsep “Tri Hita Karana” (Hubungan harmonis antar manusia dengan Tuhan, Manusia dengan sesamanya dan Manusia dengan alam lingkungannya) yang mengacu pada akar budaya Bali dapat menjadi acuan di dalam mengatasi masalah perusakan lingkungan yang menjadi penyebab pemanasan global dewasa ini, dimana pada skala kecil masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengurangi akibatnya, antara lain dengan :

- Menghemat pemakaian air
- Menurangi penggunaan kendaraan pribadi
- Menggunakan bahan pembersih, sabun yang aman bagi lingkungan.
- Mengurangi pembakaran bahan – bahan yang tak dapat didaur ulang
- Menghijaukan lingkungan sekitar karena tumbuhan mampu menangkap CO2 yang dikeluarkan oleh aktivitas manusia.
- Memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar, untuk mengurangi dampak banjir serta penyakit.
- Membuat kompos
- Mendorong usaha kerajinan dengan bahan sisa yang bisa didaur ulang
- Menggunakan lampu hemat energi untuk mengurangi pemborosan energi.
- Dll.


JH 17-10-2007

Tidak ada komentar: