Sabtu, 22 November 2008

Politika 15 November 2008 - Piknik Politik di "Kota Angin"

Budiarto Shambazy

Setelah memeriksa visa bertuliskan ”To Cover US Presidential Election”, Butman di imigrasi Bandara O’Hare tersenyum. ”Menurut Anda siapa yang menang?”
Saya balas senyum atas pertanyaan dia. ”Saya pendukung Clinton. Tetapi, menurut saya ’dia’ menang,” kata perempuan berkulit bak salju itu.
”’Dia’ (that one)...,” ujar John McCain sambil mengarahkan jempol ke Barack Obama tanpa menoleh dalam debat capres. Ia melecehkan Obama, yang justru menyapa McCain dengan ”John”.
Setelah mendarat 1 November itu, saya mengelilingi ”Kota Angin” (”Windy City”). Suasana Halloween, kampanye pilpres, dan krismon terasa kental.
Jumlah ”setan” Halloween di pekarangan jauh lebih sedikit dibandingkan reklame rumah dijual murah akibat foreclosure. Tak ada poster McCain—apalagi Sarah Palin—di kandang dia.
Sopir taksi, penumpang kereta, pengemis, pejalan kaki, dan wartawan yakin ”dia” menang. Hasil survei early voting 30 juta pemilih membuktikan dia unggul 2:1.
”Obamamania” melanda kota ketiga terbesar AS yang berpenduduk 2,9 juta jiwa itu, terutama di Grant Park yang luasnya 300 hektar. Manusia tiap jam tak henti menyemut menunggu Election Night.
Warga lokal, nasional, dan internasional mengobral senyum. Warga berduyun di sepanjang North-South Michigan Avenue yang membelah Sungai Chicago dan jadi beranda depan Grant Park.
Senyum itu simbol harapan dan kebanggaan warga Chicago terhadap dia. Terakhir kali dua presiden asal Chicago, Abraham Lincoln (1861-1865) dan Ulysses Grant (1869-1877).
Alam pun berpihak kepada dia. Terik matahari ”Indian Summer” yang suka datang tanpa diundang pada musim gugur itu telah mengusir jauh-jauh ancaman serbuan angin kutub utara yang menusuk tulang.
Reli Election Night resmi dimulai pukul 20.30, tetapi warga membeludak setelah berakhirnya jam kerja. Empat dari lima orang memakai kaus, topi, kemeja, jaket, atau pin bergambar dia.
Sebagian ”menduduki” kaki lima berpidato, bersorak-sorai, atau bernyanyi. Tak sedikit menyetel lagu ”Yes We Can” karya Will.I.Am.
Sekitar pukul 20.30 hadirin sudah tahu exit polls mengindikasikan dia menang mutlak. Namun, klimaksnya dua jam kemudian saat monitor raksasa mengumumkan kemenangan dia.
Telinga tak mampu menampung derasnya gelombang suara bagai letupan bom bertalu-talu. Tak sedikit menjerit histeris, bergulingan bak orang kesetanan, atau berlinang air mata.
Tanpa komando, seperempat juta orang meneriakkan yel ”Yes We Can!” tiada henti. Sorot mata, kamera, dan lampu tertuju ke panggung yang terang benderang menunggu dia datang.
Saat dia muncul bersama Michelle, Malia, dan Sasha, suhu Chicago yang malam itu 22 derajat celsius seperti dibakar musim panas. Mustahil mendengar suara sendiri atau bergerak karena impitan massa.
”Halo Chicago...,” kata dia. ”Saya takkan pernah melupakan siapa yang layak menikmati kemenangan ini. Ini milik Anda semua...,” kata dia, yang di Konvensi Nasional Demokrat 2004 memperkenalkan diri ”bocah kurus dengan nama aneh”.
”Jalan ke depan masih panjang. Tebing yang kita daki makin curam. Kita belum sampai tujuan dalam setahun atau satu masa jabatan. Namun, Amerika, harapan saya tak sebesar malam ini agar sampai ke tujuan. Saya berjanji kepada Anda, kita sebagai bangsa akan sampai ke tujuan. Amerika, kita sudah menempuh perjalanan panjang. Kita telah menyaksikan banyak hal. Tetapi, masih banyak yang bisa dilakukan.”
”Malam ini kita bertanya: jika anak-anak memasuki abad mendatang, perubahan apa yang mereka saksikan? Kemajuan apa yang kita hasilkan? Inilah kesempatan kita menjawabnya.”
”Ini saatnya membuka pintu bagi anak-anak memulihkan kesejahteraan dan mencapai perdamaian merebut kembali mimpi Amerika dan menegaskan kebenaran paling hakiki bahwa kita satu, kita tetap berharap selama masih bernapas.”
”Saat kita menghadapi mereka yang ragu, kita jawab dengan rasa yakin yang mencerminkan semangat bangsa: Yes, We Can!”
Cerita selebihnya Anda tahu. Esok pagi saya, sebelum ketinggalan, cepat-cepat antre barang termahal hari itu: Chicago Sun Times dan Chicago Tribune.
Tiras edisi hari itu sold-out sehingga kedua koran terbesar itu menerbitkan replika halaman depan seharga 60 sampai 100 dollar AS. Harga edisi asli bisa dua kali lipat.
Tanggal 4 November sejarah mencatat AS memelopori kebinekaan yang hakiki. Mungkinkah kulit hitam menjadi perdana menteri Inggris, presiden Perancis, atau kanselir Jerman 100 tahun lagi?
Mungkinkah minoritas di sini menjadi presiden 1.000 tahun lagi? Dia di The Audacity of Hope menulis, ”Indonesia terasa jauh dibandingkan 30 tahun lalu. Saya takut ia jadi tanah yang asing.”
Dia memicu ”revolusi damai”. Grant Park piknik politik semua umur, kalangan, warna kulit, agama, kelamin, lengkap dengan sosis hamburger dan cokelat panas.
Saya terkenang lagu ”Saturday in the Park” karya Chicago yang top di sini tahun 1970-an.
”Saturday in the park, you’d think it was the Fourth of July/People talking, really smiling”.
”Will you help him change the world, can you dig it?/Yes I can and Ive been waiting such a long time for today”.
”People reaching, people touching/A real celebration waiting for us all....”
Baca juga ”Chicago, 4 November 2008” di http://kompasiana.com


Dari Kompas, Sabtu 15 November 2008

Tidak ada komentar: