Sabtu, 22 November 2008

Analisis Ekonomi - Jaringan Distribusi Gula: Sumber Distorsi?


Jaringan Distribusi Gula: Sumber Distorsi?
Bustanul Arifin

Indonesia sedang mencoba mengembangkan sistem dan jaringan distribusi (baca: tata niaga) gula yang baru. Empat badan usaha milik negara, yaitu Perum Bulog, PT Perkebunan Nusantara, PT Rajawali Nusantara, dan PT Bank Rakyat Indonesia, pada 3 November menandatangani nota kesepahaman dalam hal jaringan distribusi gula alternatif, yang diharapkan lebih efisien (Kompas 7/11).
Jaringan ini memiliki obsesi menjaga stabilitas harga gula, tepatnya mengangkat harga gula petani pada ke tingkat yang memberikan sistem insentif untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Selain diharapkan mampu menekan harga di konsumen agar terjangkau, sekalipun ada gejolak harga gula di pasar internasional.
Masyarakat hanya tidak ingin melihat dan menyaksikan sumber distorsi baru jika pengembangan jaringan distribusi itu tidak didasarkan pada prinsip obyektivitas, kaidah ilmiah, dan pelaksanaan tata kelola yang baik dalam BUMN strategis tersebut.
Jaringan baru itu akan menjadi peletak dasar sistem produksi dan distribusi gula yang akan dikenang masyarakat jika dibangun berdasarkan prinsip efisiensi, kesejahteraan, dan strategis ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.
Dalam ekonomi pertanian, mekanisme stabilisasi seperti itu dinamakan sistem rentang harga, yang sebenarnya memiliki visi mengurangi risiko produksi di tingkat hulu dan mengurangi risiko karena fluktuasi harga, ketidakpastian musim dan iklim, ketersediaan faktor dan sarana produksi, terutama pada usaha tani tebu petani kecil.
Dukungan sistem distribusi dan jaringan pemasaran menjadi sangat vital pada skema yang menekankan pada ketepatan kualitas, kontinuitas pasokan, dan persyaratan teknis lain yang dibutuhkan mata rantai yang berada agak ke hilir.
Masyarakat telah akrab dengan mekanisme seperti itu karena kehadiran lembaga parastatal seperti Bulog. Sudah banyak yang membahas legasi Bulog, perjalanannya selama empat dasawarsa mengawal mekanisme stabilisasi harga pangan strategis, pasang-surut prestasinya terkait politik, birokrasi, kekuasaan, dan kedewasaan berbisnis.
Peran negara menjadi sentral dalam memberi napas pada perumusan, organisasi, dan implementasi kebijakan strategis yang dihasilkan pada aras politik, yang membawa misi besar, seperti peningkatan kesejahteraan rakyat, dan ketahanan pangan.
Masyarakat hanya ingin diyakinkan, apakah pada pengembangan sistem jaringan distribusi gula yang baru, Bulog mengandalkan mandat bisnisnya untuk mengambil keuntungan, atau bagian dari tanggung jawab publik (PSO). Tanpa kejelasan mandat, bayang-bayang ancaman distorsi ekonomi senantiasa menjelma.
Kinerja komoditas gula di dalam negeri sebenarnya tidak buruk walaupun kini dipisahkan penggunaan istilah gula konsumsi dan gula industri. Gula konsumsi adalah yang diproses dari tebu yang dihasilkan petani kecil, perkebunan swasta, dan BUMN di dalam negeri. Adapun gula industri, gula yang diproses oleh industri gula rafinasi, yang bahan bakunya gula mentah impor.
Produksi gula konsumsi 2008 diperkirakan 2,78 juta ton apabila areal panen 450.000 hektar dan produksi tebu sekitar 35 juta ton. Apabila target tercapai, produksi gula Indonesia akan sedikit lebih tinggi dari perkiraan kebutuhan gula konsumsi, 2,70 juta ton.
Kebutuhan gula industri diperkirakan 2,15 juta ton. Sehingga kebutuhan total gula di Indonesia sekitar 4,85 juta ton.
Pemimpin yang kuat
Di tangan seorang pemimpin politik yang kuat dan amanah, lembaga parastatal yang berafiliasi dengan ”kepentingan negara” akan mudah melaksanakan fungsinya secara baik karena efektivitas struktur kebijakan, dari tingkat pusat sampai daerah.
Namun, di tangan pemimpin yang lemah, atau pada kondisi manajemen pemerintahan yang kacau-balau, sebaliknya.
Pada kesempatan lain (Arifin, 2008), penulis menyimpulkan, pasang surut kinerja sistem tata niaga gula di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari tujuan kebijakan, instrumen yang digunakan, strategi, serta kondisi internal, lingkungan eksternal serta tekanan ekonomi dan politik dari berbagai penjuru.
Tanpa mengabaikan dampak positif yang ditimbulkan, kebijakan tata niaga impor gula melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (No. 643/MPP/Kep/9/2002) hanya menghasilkan hambatan masuk, yang justru menimbulkan jalan pintas bagi pemburu rente.
Kemudian, upaya penyempurnaan ketentuan impor gula melalui Surat Keputusan Menteri No. 527MPP/Kep/9/2004 dianggap lebih bervisi “pemerataan” terhadap rente ekonomi yang dihasilkan. Namun, ekonomi gula masih belum memecahkan persoalan strukturalnya.
Dengan hadirnya industri gula rafinasi, tata-nilai ekonomi gula Indonesia lebih rasional. Ini seharusnya menantang pemangku kepentingan gula untuk meningkatkan efisiensi produksi, menguasai sistem informasi pasar, dan meningkatkan kualitas organisasi petani dan pabrik gula.
Sejarah mengajarkan, sistem rasional-modern dan sistem kolektif-tradisional dapat hidup berdampingan, saling menghormati dan menghargai, bukan saling jegal dan bersaing tidak sehat, yang akan merugikan fondasi ekonomi Indonesia.
Dalam konteks itu, pendapat Profesor Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi 1998, layak diperhatikan. ”Sulit dibayangkan, proses pembangunan yang substansial dapat berlangsung tanpa pemanfaatan pasar secara ekstensif walaupun hal itu tidak harus menegasikan peran dukungan sosial, regulasi negara, dan perancangan kebijakan yang mampu memperkaya dan memberi makna, bukan memperburuk, kualitas hidup manusia.”

Bustanul Arifin Guru Besar Unila; Ekonom Senior Indef, dan Professorial Fellow MB-IPB


Dari Kompas, Senin 10 November 2008


Tidak ada komentar: