Minggu, 23 November 2008

Analisis Ekonomi - Kurs Rupiah di Tengah Gejolak Global



Krisis ekonomi Amerika Serikat semakin terasa dampaknya. Kejatuhan perbankan global telah berdampak terhadap likuiditas dunia usaha di seluruh dunia. Sebenarnya sejak disetujuinya program penalangan perbankan Amerika, kondisi likuiditas valuta asing telah membaik. Suku bunga antarbank di London (LIBOR) berjangka 1 bulan turun tajam dari 4,5 persen ke 1,4 persen.
Akan tetapi, membaiknya likuiditas perbankan global tidak disalurkan ke sektor korporasi karena perbankan global sedang merugi. Berita terakhir, General Motors, perusahaan otomotif terbesar di AS, kemungkinan harus membangkrutkan diri karena penjualan menurun, sedangkan manajemen tidak berhasil memperoleh likuiditas untuk menjalankan operasional sehari-hari.
Dampak negatif bukan hanya terasa di negara maju, tetapi juga menyulitkan negara berkembang, seperti Indonesia. Walaupun Pemerintah Indonesia konsisten menjalankan kebijakan fiskal dan moneter yang berhati-hati (prudent), tetapi sebagai negara berkembang dengan sistem lalu lintas devisa yang sangat bebas, pasar keuangan Indonesia cenderung lebih fluktuatif dibandingkan negara lain.
Terpaku berita negatif
Walaupun penurunan harga minyak dari 147 dollar AS per barrel menjadi 50 dollar AS per barrel berdampak positif terhadap anggaran pemerintah, masyarakat tampaknya terpaku memerhatikan berita negatif pelemahan kurs rupiah dan bursa saham.
Minggu lalu pasar valuta asing, obligasi, dan saham di Indonesia semakin terpuruk. Kurs rupiah terhadap dollar AS melemah dari Rp 11.500 ke Rp 12.300. Kecuali yen Jepang, mata uang negara lain juga melemah terhadap dollar AS. Ironisnya, pelemahan rupiah terhadap dollar AS melebihi pelemahan mata uang negara lain walaupun angka makroekonomi Indonesia lebih bagus dibandingkan dengan negara berkembang lain (dalam hal anggaran pemerintah, neraca pembayaran, dan fundamental sektor perbankan).
Saat ini pelemahan rupiah masih dalam batas yang wajar karena akan membantu daya saing eksportir dan mengurangi transaksi impor yang tidak penting. Namun, pelemahan rupiah yang berlebihan nantinya akan memukul kinerja perbankan yang pada akhirnya berdampak negatif kepada sektor riil.
Bursa saham Indonesia juga semakin terpuruk. Selain karena efek negatif pelemahan rupiah, aksi jual pelepasan jaminan reverse repo masih terus menghantam bursa saham. Di pasar Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi rupiah—jangka waktu 5 tahun—imbal hasilnya memburuk dari 15,0 persen menjadi 17,85 persen. Demikian pula SUN berdenominasi dollar—jangka waktu 8 tahun—imbal hasilnya memburuk dari 14 persen ke 15,3 persen. Pemburukan bursa saham dan imbal hasil SUN sudah terlalu dalam, tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia, tetapi investor masih khawatir, belum berminat membeli.
Kenaikan imbal hasil SUN akan memberatkan keuangan pemerintah dan meningkatkan biaya pinjaman bagi sektor dunia usaha. Tingkat suku bunga kredit dan fasilitas lindung nilai (hedging) cenderung mengikuti kenaikan suku bunga deposito dan imbal hasil SUN.
Tergantung rekapitalisasi
Sampai kapan krisis ini akan berlanjut? Karena krisis saat ini adalah krisis perbankan global, pasar keuangan hanya akan membaik jika program rekapitalisasi perbankan global selesai. Setelah itu, barulah perbankan global bersedia menyalurkan kredit kepada dunia usaha, termasuk kredit ke negara sedang berkembang. Artinya, kita masih harus waspada paling tidak sampai dengan kuartal II tahun 2009 karena program rekapitalisasi memakan waktu sekitar 1 tahun.
Jumlah dana yang dibutuhkan untuk rekapitalisasi perbankan bergantung pada seberapa parah kerugian sektor perbankan Amerika dan Eropa. Saat ini jumlah kerugian sudah mencapai 920 miliar dollar AS, sedangkan Dana Moneter Internasional memperkirakan kerugian akan mencapai 1,4 triliun dollar AS.
Apa yang harus kita lakukan? Dalam situasi krisis yang berpotensi sistemik, tiga kondisi harus dipenuhi. Nasabah deposit di perbankan harus dibuat tenang. Jika nasabah deposit tidak nyaman, bank terpaksa menawarkan bunga deposito yang tinggi sehingga berdampak terhadap naiknya suku bunga kredit. Karena itu, Bank Indonesia sebaiknya memberikan likuiditas di pasar uang, jangan menaikkan suku bunga.
Selain sistem lalu lintas devisa yang terlalu bebas, sifat masyarakat bisnis di Indonesia cenderung mudah panik. Trauma masa lalu telah membuat tipe masyarakat bisnis Indonesia cenderung paranoid. Media mempunyai peranan sangat penting untuk membawa suasana tenang kepada masyarakat.
Namun, situasi tenang akan terbantu terealisasi jika pemerintah bersedia menaikkan penjaminan dana nasabah (misalnya dari Rp 2 miliar menjadi Rp 5 miliar) agar nasabah korporasi, asuransi, dan dana pensiun merasa lebih aman.
Selain nasabah perbankan, sesama bank juga harus dibuat tenang. Bank kecil hidupnya bergantung kepada likuiditas dari bank besar. Dalam situasi krisis seperti sekarang, pemerintah perlu memberikan penjaminan atas transaksi antarbank, misalnya untuk jumlah tertentu. Tantangannya adalah mencegah moral hazard, yaitu jangan sampai penjaminan pemerintah malahan menguntungkan pemilik dan manajemen bank yang tidak memiliki integritas baik. Di sinilah fungsi pengawasan Bank Indonesia menjadi sangat krusial.
Selain memberikan ketenangan kepada nasabah bank dan penjaminan transaksi antarbank, likuiditas dollar juga harus ditambah. Permintaan dollar untuk kebutuhan komersial bulanan memang cukup tinggi, yaitu untuk impor dan bayar utang dollar. Inilah pelajaran bagi Indonesia yaitu kita tidak mempunyai basis industri dalam negeri yang kuat dan pengusaha masih gemar berutang dollar.
Cara menambah pasokan dollar hanya akan terwujud jika eksportir migas dan nonmigas membawa masuk hasil devisa ekspor ke sistem perbankan Indonesia. Tidak sekarang, tetapi dalam jangka panjang, sistem devisa Thailand dan Malaysia bisa kita contoh, yaitu ”bebas tetapi ada aturan”. Hidup ini harus ada aturannya. Contohnya, ekonomi Amerika terbukti jatuh terpuruk karena subprime mortgage, perusahaan sekuritas global dan pengelola hedge funds tidak mereka atur dengan ketat.

Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal


Dari Kompas, Senin 24 November 2008


Tidak ada komentar: