Senin, 24 November 2008

Krisis Kelapa Sawit - Titik Balik Industri Sawit

Titik Balik Industri Sawit

Industri kelapa sawit mengalami titik balik. Saat ini, pelaku industri sawit berada di titik nadir.
Maret lalu, krisis energi fosil mengangkat minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke harga tertinggi 1.300 dollar AS per ton. Tidak hanya industri dan eksportir, petani pun mendapat durian runtuh (windfall profit). Dengan lahan 2 hektar, petani mengantongi Rp 4 juta/bulan.
Pengulangan jurus klasik
Kini, semua itu tinggal cerita. Krisis keuangan global membuat pasar lesu. Persaingan dengan minyak nabati lain dan menurunnya permintaan CPO dari Eropa, India, dan China, membuat harga CPO terjun bebas menjadi 400 dollar AS per ton. Harga sawit di pasar Rotterdam langsung ditransmisikan kepada petani kecil di sentra sawit di Riau dan Sumatera Utara.
Jika Maret lalu harga tandan buah segar (TBS) Rp 1.500/kg, kini anjlok menjadi Rp 200-Rp 300/kg. Petani sawit mendadak miskin. TBS dibiarkan busuk karena ongkos produksi dan panen mahal. Di Riau penurunan TBS membuat warga miskin tambah 20 persen (Kompas, 22/10/2008).
Kondisi ini berimbas terhadap buruh di kebun sawit. Beberapa perusahaan mulai memangkas jam kerja buruh. Bahkan, sejumlah perusahaan sawit tidak lagi menggunakan tenaga buruh harian lepas saat musim penyemprotan, pemupukan, atau panen. Apabila kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin buruh di kebun sawit akan diistirahatkan demi efisiensi. Jika itu yang terjadi, penganggur akan meledak. Saat ini, setidaknya ada 2,8 juta buruh yang mengais rezeki di kebun sawit. Jika mereka menganggur, dengan asumsi satu keluarga berjumlah empat orang, ada 11,2 juta orang yang nasibnya tidak menentu.
Untuk mengangkat harga CPO, per 1 November 2008, pemerintah menurunkan pungutan ekspor (PE) menjadi 0 persen. Ini jurus klasik yang selalu diulang-ulang sejak 1980-an. Jurus ini diyakini menaikkan harga CPO sekitar Rp 300-Rp 400/kg, dan harga TBS petani naik Rp 75-Rp 100/kg (Bisnis Indonesia, 4/11/ 2008). Dalam jangka pendek jurus itu mungkin menolong. Namun, langkah ini belum menyentuh masalah sebenarnya.
Terbesar tetapi didikte
Industri kelapa sawit mengidap problem serius. Di hulu, tidak hanya izin pembukaan lahan baru kian tak terkendali, di sentra-sentra sawit juga terjadi konversi besar-besaran lahan pangan ke sawit. Di level budidaya, bibit berkurang dan berkualitas rendah, bahkan banyak bibit palsu dan tingkat produktivitas rendah. Produktivitas lahan Indonesia hanya 2,51 ton CPO/ha/tahun, jauh daripada Malaysia— 3,21 ton CPO/ha/tahun—yang dulu berguru kepada kita tentang masalah sawit
Di hilir, sejauh ini belum ada rancangan besar pengembangan industri pengolahan. Kebijakan yang dirakit berikut aransemen kelembagaan masih fragmentaris, ad hoc, reaktif, jangka pendek, bahkan mudah direvisi baik karena alasan ekonomi, sosial, atau tekanan kelompok kepentingan yang memiliki lobi kuat kepada pemerintah. Dukungan riset, skema pendanaan dan pasar juga tidak pernah serius digarap.
Kita memang menjadi eksportir CPO terbesar di dunia, tetapi harga CPO Indonesia justru didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka.
Sawit adalah satu dari 10 komoditas unggulan Indonesia dan primadona penghasil devisa ekspor nonmigas. Tahun lalu CPO di peringkat pertama produk ekspor dengan kontribusi nilai ekspor 11,13 persen dari total nilai ekspor nonmigas. Prestasi itu tidak mungkin dipertahankan jika industri sawit tidak ditata ulang.
Pada level budidaya, riset intensif untuk menghasilkan benih unggul dalam jumlah memadai dan meningkatkan produktivitas tidak bisa ditawar-tawar. Riset bisa diintegrasikan untuk mempertemukan kepentingan lembaga penelitian, universitas, dan perusahaan, sehingga diperoleh terobosan baru bernilai tambah tinggi, baik di level budidaya maupun di industri hilir.
Pengendalian izin
Di hilir, pemberian izin baru harus direm, termasuk pengendalian konversi pangan ke sawit. Ini penting guna menjaga keseimbangan supply-demand. Terkait supply-demand, hal yang harus diatur adalah industri biodiesel. Sejak Oktober lalu pemerintah mewajibkan sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik memakai bahan bakar nabati (BBN) 5 persen, dan ditingkatkan menjadi 10 persen (2020) dan 20 persen (2025). Mandatory ini akan menggairahkan pasar CPO yang lesu. Jika tidak diatur, akan mengguncang pasar minyak goreng.
Soal kelembagaan, model Brasil dalam kasus gula, bisa dicontek. Lembaga ini diberi tugas merakit kebijakan biodiesel dan minyak goreng (dengan mengembangkan teknologi, sosial, dan perdagangan) untuk menciptakan produk berkualitas dan kompetitif. Tiap tahun harus diatur besar produksi biodiesel dan minyak goreng, termasuk ekspor. Dengan cara ini, produksi biodiesel versus minyak goreng bisa menjadi strategi kita keluar dari pasar CPO yang fluktuatif.
Untuk mendorong pendalaman industri hilir, pemerintah bisa memberi aneka insentif, baik finansial, riset, maupun infrastruktur. Terakhir, sebagai penghasil CPO terbesar kedua setelah Malaysia, Indonesia sepatutnya berperan pen- ting dalam pencarian dan pembentukan harga produk, bukan malah didikte pihak lain.

Khudori Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian

Dari : Kompas, Senin, 24 November 2008

Tidak ada komentar: