Senin, 24 November 2008

Kelapa Sawit - "Downswing" Harga CPO Internasional

“Downswing” Harga CPO Internasional

Gejolak sektor finansial di AS dan sebagian dunia telah merambah sektor riil. Sektor perkebunan, seperti karet dan kelapa sawit, terkena imbas negatif krisis ini.
Selama lima tahun terakhir harga minyak sawit mentah (CPO) dunia mencapai puncak di atas 1.000 dollar AS per ton (1.300 dollar AS per ton awal Maret 2008). Akan tetapi, lima bulan terakhir, harga minyak sawit mentah dunia anjlok, bahkan harganya kurang dari 200 dollar AS per ton. Tidak mengherankan banyak petani kelapa sawit kita menjadi kaya saat harga tandan buah segar (TBS) sawit mencapai Rp 2.500 (2007), lalu jatuh miskin saat harganya anjlok. Seberapa rendah harga CPO akan terjun?
Fenomena itu berkebalikan dengan yang terjadi lima tahun terakhir. Selama itu terjadi perubahan struktur pasar minyak nabati dan pasar serealia (kacang-kacangan) internasional karena perubahan permintaan jagung dan minyak sawit mentah dunia. Permintaan akan jagung dan kacang-kacangan bergeser, semula untuk minyak goreng kini untuk energi (etanol).
Tiba-tiba
Pergeseran itu telah mendorong naiknya permintaan jagung dan minyak sawit mentah sehingga harga di tingkat dunia meningkat. Kekuatan permintaan itu merupakan kekuatan yang sifatnya berubah secara permanen mengingat industri bahan bakar nabati (biofuel) sudah selesai dibangun dan penggunaannya sudah menjadi komitmen beberapa negara dunia. AS, misalnya, sejak Desember 2007 telah mengeluarkan peraturan penggunaan biodiesel dan standar energi terbarukan (renewable energy standard) untuk etanol dari jagung. Selanjutnya, Pemerintah AS menargetkan pada tahun 2017 sebanyak 20 persen konsumsi bahan bakar di AS berasal dari biofuel. Sebagai pemasok sekitar 40 persen jagung dunia, tentu saja pergeseran itu merupakan upswing yang cukup besar di pasar minyak nabati.
Namun, upswing itu tiba-tiba berubah menjadi downswing dalam lima bulan terakhir. Sejak Juli 2008, harga minyak sawit anjlok, bahkan kurang dari 200 dollar AS per ton November ini. Gejolak ini bisa dirunut dari beberapa sisi, misalnya dari krisis finansial di AS dan menghantam sektor riil, termasuk industri otomotif di AS. Akibatnya, secara umum pengeluaran konsumsi di dunia turun, permintaan produk-produk makanan juga menurun. Minyak sawit, yang merupakan bahan baku minyak goreng sekaligus bahan baku biofuel terpukul dari dua arah.
Sebagai bahan makanan, permintaan minyak goreng akan meningkat seiring meningkatnya pendapatan dan jumlah penduduk. Meski lambat, karena sifatnya tidak begitu elastis terhadap pendapatan, konsumsi dunia meningkat dari tahun ke tahun karena jumlah penduduk meningkat. Permintaan minyak goreng nabati (termasuk minyak sawit) akhir-akhir ini melemah akibat turunnya pendapatan dunia. Pukulan kedua berasal dari menurunnya permintaan biofuel akibat anjloknya industri otomotif di AS dan melemahnya permintaan mobil (berakibat turunnya konsumsi biofuel) yang memperlemah permintaan CPO internasional.
Sampai kapan?
Sampai kapan downswing ini bertahan, tidak mudah diprediksi. Beberapa faktor perlu dicermati untuk mendeteksi gejolak harga CPO ke depan. Dari sisi penawaran (supply), pertama karena musim. Indonesia dan Malaysia adalah produsen utama CPO internasional. Pada bulan Desember dan Januari di Malaysia dan Indonesia mengalami curah hujan yang tinggi dan diprediksi dapat menurunkan produksi CPO (karena banjir atau sebab lain) sehingga pasokan akan menurun, mengerem turunnya harga.
Kedua, siklus produksi kelapa sawit di Malaysia mencapai titik rendah sehingga produksi akan menurun, seperti dilansir Reuters (18/11).
Ketiga, sektor pertanian selalu melakukan ekspansi, inovasi penggunaan pupuk dan bibit sehingga produksi dalam jangka panjang meningkat.
Dari sisi permintaan (demand) Pemerintah Malaysia tampaknya akan mempercepat program konversi biofuel, sebagaimana dikemukakan Perdana Menteri Badawi bulan lalu sehingga permintaan CPO akan naik. India, sebagai negara importir minyak nabati kedua setelah China, mengenakan pajak impor minyak kedelai sebesar 20 persen yang diprediksi mendorong impor minyak sawit ke negeri ini. China, India, dan Pakistan, yang merupakan konsumen minyak sawit terbesar, diprediksi meningkatkan konsumsi tahun depan. Bahkan, China diprediksi meningkatkan konsumsi sebelum akhir tahun mengingat adanya program stimulus sebesar 586 miliar dollar AS. Turunnya rupiah juga akan memperkuat ekspor CPO, dengan harga lebih murah daripada Malaysia.
Dari sisi kelembagaan, desakan penurunan ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit karena bahaya erosi dan konversi hutan, proses sertifikasi produksi dan processing palm oil dari kelompok RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan desakan moratorium kelapa sawit menuju industri yang sustainable mungkin akan mengerem ekspansi dan produksi dalam periode yang agak panjang.
Dalam jangka pendek, downswing harga CPO memaksa pekebun, terutama pemilik kebun ukuran kecil, gigit jari. Optimisme petani di Kutai Kartanegara, Riau, atau daerah lain perlu dipulihkan agar investasi mereka untuk membuka lahan kelapa sawit, konversi kebun lada menjadi kebun kelapa sawit seperti di Kutai Kartanegara tetap bergairah. Dalam jangka panjang, konversi menuju penggunaan biofuel diharapkan meningkatkan permintaan minyak sawit, selain peningkatan pendapatan dan jumlah penduduk yang merupakan faktor klasik naiknya permintaan produk makanan (seperti minyak goreng kelapa sawit).

Catur Sugiyanto Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Dari Kompas, Senin 24 November 2008

Tidak ada komentar: