Senin, 24 November 2008

Krisis Kelapa Sawit - Titik Balik Industri Sawit

Titik Balik Industri Sawit

Industri kelapa sawit mengalami titik balik. Saat ini, pelaku industri sawit berada di titik nadir.
Maret lalu, krisis energi fosil mengangkat minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke harga tertinggi 1.300 dollar AS per ton. Tidak hanya industri dan eksportir, petani pun mendapat durian runtuh (windfall profit). Dengan lahan 2 hektar, petani mengantongi Rp 4 juta/bulan.
Pengulangan jurus klasik
Kini, semua itu tinggal cerita. Krisis keuangan global membuat pasar lesu. Persaingan dengan minyak nabati lain dan menurunnya permintaan CPO dari Eropa, India, dan China, membuat harga CPO terjun bebas menjadi 400 dollar AS per ton. Harga sawit di pasar Rotterdam langsung ditransmisikan kepada petani kecil di sentra sawit di Riau dan Sumatera Utara.
Jika Maret lalu harga tandan buah segar (TBS) Rp 1.500/kg, kini anjlok menjadi Rp 200-Rp 300/kg. Petani sawit mendadak miskin. TBS dibiarkan busuk karena ongkos produksi dan panen mahal. Di Riau penurunan TBS membuat warga miskin tambah 20 persen (Kompas, 22/10/2008).
Kondisi ini berimbas terhadap buruh di kebun sawit. Beberapa perusahaan mulai memangkas jam kerja buruh. Bahkan, sejumlah perusahaan sawit tidak lagi menggunakan tenaga buruh harian lepas saat musim penyemprotan, pemupukan, atau panen. Apabila kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin buruh di kebun sawit akan diistirahatkan demi efisiensi. Jika itu yang terjadi, penganggur akan meledak. Saat ini, setidaknya ada 2,8 juta buruh yang mengais rezeki di kebun sawit. Jika mereka menganggur, dengan asumsi satu keluarga berjumlah empat orang, ada 11,2 juta orang yang nasibnya tidak menentu.
Untuk mengangkat harga CPO, per 1 November 2008, pemerintah menurunkan pungutan ekspor (PE) menjadi 0 persen. Ini jurus klasik yang selalu diulang-ulang sejak 1980-an. Jurus ini diyakini menaikkan harga CPO sekitar Rp 300-Rp 400/kg, dan harga TBS petani naik Rp 75-Rp 100/kg (Bisnis Indonesia, 4/11/ 2008). Dalam jangka pendek jurus itu mungkin menolong. Namun, langkah ini belum menyentuh masalah sebenarnya.
Terbesar tetapi didikte
Industri kelapa sawit mengidap problem serius. Di hulu, tidak hanya izin pembukaan lahan baru kian tak terkendali, di sentra-sentra sawit juga terjadi konversi besar-besaran lahan pangan ke sawit. Di level budidaya, bibit berkurang dan berkualitas rendah, bahkan banyak bibit palsu dan tingkat produktivitas rendah. Produktivitas lahan Indonesia hanya 2,51 ton CPO/ha/tahun, jauh daripada Malaysia— 3,21 ton CPO/ha/tahun—yang dulu berguru kepada kita tentang masalah sawit
Di hilir, sejauh ini belum ada rancangan besar pengembangan industri pengolahan. Kebijakan yang dirakit berikut aransemen kelembagaan masih fragmentaris, ad hoc, reaktif, jangka pendek, bahkan mudah direvisi baik karena alasan ekonomi, sosial, atau tekanan kelompok kepentingan yang memiliki lobi kuat kepada pemerintah. Dukungan riset, skema pendanaan dan pasar juga tidak pernah serius digarap.
Kita memang menjadi eksportir CPO terbesar di dunia, tetapi harga CPO Indonesia justru didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka.
Sawit adalah satu dari 10 komoditas unggulan Indonesia dan primadona penghasil devisa ekspor nonmigas. Tahun lalu CPO di peringkat pertama produk ekspor dengan kontribusi nilai ekspor 11,13 persen dari total nilai ekspor nonmigas. Prestasi itu tidak mungkin dipertahankan jika industri sawit tidak ditata ulang.
Pada level budidaya, riset intensif untuk menghasilkan benih unggul dalam jumlah memadai dan meningkatkan produktivitas tidak bisa ditawar-tawar. Riset bisa diintegrasikan untuk mempertemukan kepentingan lembaga penelitian, universitas, dan perusahaan, sehingga diperoleh terobosan baru bernilai tambah tinggi, baik di level budidaya maupun di industri hilir.
Pengendalian izin
Di hilir, pemberian izin baru harus direm, termasuk pengendalian konversi pangan ke sawit. Ini penting guna menjaga keseimbangan supply-demand. Terkait supply-demand, hal yang harus diatur adalah industri biodiesel. Sejak Oktober lalu pemerintah mewajibkan sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik memakai bahan bakar nabati (BBN) 5 persen, dan ditingkatkan menjadi 10 persen (2020) dan 20 persen (2025). Mandatory ini akan menggairahkan pasar CPO yang lesu. Jika tidak diatur, akan mengguncang pasar minyak goreng.
Soal kelembagaan, model Brasil dalam kasus gula, bisa dicontek. Lembaga ini diberi tugas merakit kebijakan biodiesel dan minyak goreng (dengan mengembangkan teknologi, sosial, dan perdagangan) untuk menciptakan produk berkualitas dan kompetitif. Tiap tahun harus diatur besar produksi biodiesel dan minyak goreng, termasuk ekspor. Dengan cara ini, produksi biodiesel versus minyak goreng bisa menjadi strategi kita keluar dari pasar CPO yang fluktuatif.
Untuk mendorong pendalaman industri hilir, pemerintah bisa memberi aneka insentif, baik finansial, riset, maupun infrastruktur. Terakhir, sebagai penghasil CPO terbesar kedua setelah Malaysia, Indonesia sepatutnya berperan pen- ting dalam pencarian dan pembentukan harga produk, bukan malah didikte pihak lain.

Khudori Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian

Dari : Kompas, Senin, 24 November 2008

Kelapa Sawit - "Downswing" Harga CPO Internasional

“Downswing” Harga CPO Internasional

Gejolak sektor finansial di AS dan sebagian dunia telah merambah sektor riil. Sektor perkebunan, seperti karet dan kelapa sawit, terkena imbas negatif krisis ini.
Selama lima tahun terakhir harga minyak sawit mentah (CPO) dunia mencapai puncak di atas 1.000 dollar AS per ton (1.300 dollar AS per ton awal Maret 2008). Akan tetapi, lima bulan terakhir, harga minyak sawit mentah dunia anjlok, bahkan harganya kurang dari 200 dollar AS per ton. Tidak mengherankan banyak petani kelapa sawit kita menjadi kaya saat harga tandan buah segar (TBS) sawit mencapai Rp 2.500 (2007), lalu jatuh miskin saat harganya anjlok. Seberapa rendah harga CPO akan terjun?
Fenomena itu berkebalikan dengan yang terjadi lima tahun terakhir. Selama itu terjadi perubahan struktur pasar minyak nabati dan pasar serealia (kacang-kacangan) internasional karena perubahan permintaan jagung dan minyak sawit mentah dunia. Permintaan akan jagung dan kacang-kacangan bergeser, semula untuk minyak goreng kini untuk energi (etanol).
Tiba-tiba
Pergeseran itu telah mendorong naiknya permintaan jagung dan minyak sawit mentah sehingga harga di tingkat dunia meningkat. Kekuatan permintaan itu merupakan kekuatan yang sifatnya berubah secara permanen mengingat industri bahan bakar nabati (biofuel) sudah selesai dibangun dan penggunaannya sudah menjadi komitmen beberapa negara dunia. AS, misalnya, sejak Desember 2007 telah mengeluarkan peraturan penggunaan biodiesel dan standar energi terbarukan (renewable energy standard) untuk etanol dari jagung. Selanjutnya, Pemerintah AS menargetkan pada tahun 2017 sebanyak 20 persen konsumsi bahan bakar di AS berasal dari biofuel. Sebagai pemasok sekitar 40 persen jagung dunia, tentu saja pergeseran itu merupakan upswing yang cukup besar di pasar minyak nabati.
Namun, upswing itu tiba-tiba berubah menjadi downswing dalam lima bulan terakhir. Sejak Juli 2008, harga minyak sawit anjlok, bahkan kurang dari 200 dollar AS per ton November ini. Gejolak ini bisa dirunut dari beberapa sisi, misalnya dari krisis finansial di AS dan menghantam sektor riil, termasuk industri otomotif di AS. Akibatnya, secara umum pengeluaran konsumsi di dunia turun, permintaan produk-produk makanan juga menurun. Minyak sawit, yang merupakan bahan baku minyak goreng sekaligus bahan baku biofuel terpukul dari dua arah.
Sebagai bahan makanan, permintaan minyak goreng akan meningkat seiring meningkatnya pendapatan dan jumlah penduduk. Meski lambat, karena sifatnya tidak begitu elastis terhadap pendapatan, konsumsi dunia meningkat dari tahun ke tahun karena jumlah penduduk meningkat. Permintaan minyak goreng nabati (termasuk minyak sawit) akhir-akhir ini melemah akibat turunnya pendapatan dunia. Pukulan kedua berasal dari menurunnya permintaan biofuel akibat anjloknya industri otomotif di AS dan melemahnya permintaan mobil (berakibat turunnya konsumsi biofuel) yang memperlemah permintaan CPO internasional.
Sampai kapan?
Sampai kapan downswing ini bertahan, tidak mudah diprediksi. Beberapa faktor perlu dicermati untuk mendeteksi gejolak harga CPO ke depan. Dari sisi penawaran (supply), pertama karena musim. Indonesia dan Malaysia adalah produsen utama CPO internasional. Pada bulan Desember dan Januari di Malaysia dan Indonesia mengalami curah hujan yang tinggi dan diprediksi dapat menurunkan produksi CPO (karena banjir atau sebab lain) sehingga pasokan akan menurun, mengerem turunnya harga.
Kedua, siklus produksi kelapa sawit di Malaysia mencapai titik rendah sehingga produksi akan menurun, seperti dilansir Reuters (18/11).
Ketiga, sektor pertanian selalu melakukan ekspansi, inovasi penggunaan pupuk dan bibit sehingga produksi dalam jangka panjang meningkat.
Dari sisi permintaan (demand) Pemerintah Malaysia tampaknya akan mempercepat program konversi biofuel, sebagaimana dikemukakan Perdana Menteri Badawi bulan lalu sehingga permintaan CPO akan naik. India, sebagai negara importir minyak nabati kedua setelah China, mengenakan pajak impor minyak kedelai sebesar 20 persen yang diprediksi mendorong impor minyak sawit ke negeri ini. China, India, dan Pakistan, yang merupakan konsumen minyak sawit terbesar, diprediksi meningkatkan konsumsi tahun depan. Bahkan, China diprediksi meningkatkan konsumsi sebelum akhir tahun mengingat adanya program stimulus sebesar 586 miliar dollar AS. Turunnya rupiah juga akan memperkuat ekspor CPO, dengan harga lebih murah daripada Malaysia.
Dari sisi kelembagaan, desakan penurunan ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit karena bahaya erosi dan konversi hutan, proses sertifikasi produksi dan processing palm oil dari kelompok RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan desakan moratorium kelapa sawit menuju industri yang sustainable mungkin akan mengerem ekspansi dan produksi dalam periode yang agak panjang.
Dalam jangka pendek, downswing harga CPO memaksa pekebun, terutama pemilik kebun ukuran kecil, gigit jari. Optimisme petani di Kutai Kartanegara, Riau, atau daerah lain perlu dipulihkan agar investasi mereka untuk membuka lahan kelapa sawit, konversi kebun lada menjadi kebun kelapa sawit seperti di Kutai Kartanegara tetap bergairah. Dalam jangka panjang, konversi menuju penggunaan biofuel diharapkan meningkatkan permintaan minyak sawit, selain peningkatan pendapatan dan jumlah penduduk yang merupakan faktor klasik naiknya permintaan produk makanan (seperti minyak goreng kelapa sawit).

Catur Sugiyanto Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Dari Kompas, Senin 24 November 2008

Minggu, 23 November 2008

Analisis Ekonomi - Kurs Rupiah di Tengah Gejolak Global



Krisis ekonomi Amerika Serikat semakin terasa dampaknya. Kejatuhan perbankan global telah berdampak terhadap likuiditas dunia usaha di seluruh dunia. Sebenarnya sejak disetujuinya program penalangan perbankan Amerika, kondisi likuiditas valuta asing telah membaik. Suku bunga antarbank di London (LIBOR) berjangka 1 bulan turun tajam dari 4,5 persen ke 1,4 persen.
Akan tetapi, membaiknya likuiditas perbankan global tidak disalurkan ke sektor korporasi karena perbankan global sedang merugi. Berita terakhir, General Motors, perusahaan otomotif terbesar di AS, kemungkinan harus membangkrutkan diri karena penjualan menurun, sedangkan manajemen tidak berhasil memperoleh likuiditas untuk menjalankan operasional sehari-hari.
Dampak negatif bukan hanya terasa di negara maju, tetapi juga menyulitkan negara berkembang, seperti Indonesia. Walaupun Pemerintah Indonesia konsisten menjalankan kebijakan fiskal dan moneter yang berhati-hati (prudent), tetapi sebagai negara berkembang dengan sistem lalu lintas devisa yang sangat bebas, pasar keuangan Indonesia cenderung lebih fluktuatif dibandingkan negara lain.
Terpaku berita negatif
Walaupun penurunan harga minyak dari 147 dollar AS per barrel menjadi 50 dollar AS per barrel berdampak positif terhadap anggaran pemerintah, masyarakat tampaknya terpaku memerhatikan berita negatif pelemahan kurs rupiah dan bursa saham.
Minggu lalu pasar valuta asing, obligasi, dan saham di Indonesia semakin terpuruk. Kurs rupiah terhadap dollar AS melemah dari Rp 11.500 ke Rp 12.300. Kecuali yen Jepang, mata uang negara lain juga melemah terhadap dollar AS. Ironisnya, pelemahan rupiah terhadap dollar AS melebihi pelemahan mata uang negara lain walaupun angka makroekonomi Indonesia lebih bagus dibandingkan dengan negara berkembang lain (dalam hal anggaran pemerintah, neraca pembayaran, dan fundamental sektor perbankan).
Saat ini pelemahan rupiah masih dalam batas yang wajar karena akan membantu daya saing eksportir dan mengurangi transaksi impor yang tidak penting. Namun, pelemahan rupiah yang berlebihan nantinya akan memukul kinerja perbankan yang pada akhirnya berdampak negatif kepada sektor riil.
Bursa saham Indonesia juga semakin terpuruk. Selain karena efek negatif pelemahan rupiah, aksi jual pelepasan jaminan reverse repo masih terus menghantam bursa saham. Di pasar Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi rupiah—jangka waktu 5 tahun—imbal hasilnya memburuk dari 15,0 persen menjadi 17,85 persen. Demikian pula SUN berdenominasi dollar—jangka waktu 8 tahun—imbal hasilnya memburuk dari 14 persen ke 15,3 persen. Pemburukan bursa saham dan imbal hasil SUN sudah terlalu dalam, tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia, tetapi investor masih khawatir, belum berminat membeli.
Kenaikan imbal hasil SUN akan memberatkan keuangan pemerintah dan meningkatkan biaya pinjaman bagi sektor dunia usaha. Tingkat suku bunga kredit dan fasilitas lindung nilai (hedging) cenderung mengikuti kenaikan suku bunga deposito dan imbal hasil SUN.
Tergantung rekapitalisasi
Sampai kapan krisis ini akan berlanjut? Karena krisis saat ini adalah krisis perbankan global, pasar keuangan hanya akan membaik jika program rekapitalisasi perbankan global selesai. Setelah itu, barulah perbankan global bersedia menyalurkan kredit kepada dunia usaha, termasuk kredit ke negara sedang berkembang. Artinya, kita masih harus waspada paling tidak sampai dengan kuartal II tahun 2009 karena program rekapitalisasi memakan waktu sekitar 1 tahun.
Jumlah dana yang dibutuhkan untuk rekapitalisasi perbankan bergantung pada seberapa parah kerugian sektor perbankan Amerika dan Eropa. Saat ini jumlah kerugian sudah mencapai 920 miliar dollar AS, sedangkan Dana Moneter Internasional memperkirakan kerugian akan mencapai 1,4 triliun dollar AS.
Apa yang harus kita lakukan? Dalam situasi krisis yang berpotensi sistemik, tiga kondisi harus dipenuhi. Nasabah deposit di perbankan harus dibuat tenang. Jika nasabah deposit tidak nyaman, bank terpaksa menawarkan bunga deposito yang tinggi sehingga berdampak terhadap naiknya suku bunga kredit. Karena itu, Bank Indonesia sebaiknya memberikan likuiditas di pasar uang, jangan menaikkan suku bunga.
Selain sistem lalu lintas devisa yang terlalu bebas, sifat masyarakat bisnis di Indonesia cenderung mudah panik. Trauma masa lalu telah membuat tipe masyarakat bisnis Indonesia cenderung paranoid. Media mempunyai peranan sangat penting untuk membawa suasana tenang kepada masyarakat.
Namun, situasi tenang akan terbantu terealisasi jika pemerintah bersedia menaikkan penjaminan dana nasabah (misalnya dari Rp 2 miliar menjadi Rp 5 miliar) agar nasabah korporasi, asuransi, dan dana pensiun merasa lebih aman.
Selain nasabah perbankan, sesama bank juga harus dibuat tenang. Bank kecil hidupnya bergantung kepada likuiditas dari bank besar. Dalam situasi krisis seperti sekarang, pemerintah perlu memberikan penjaminan atas transaksi antarbank, misalnya untuk jumlah tertentu. Tantangannya adalah mencegah moral hazard, yaitu jangan sampai penjaminan pemerintah malahan menguntungkan pemilik dan manajemen bank yang tidak memiliki integritas baik. Di sinilah fungsi pengawasan Bank Indonesia menjadi sangat krusial.
Selain memberikan ketenangan kepada nasabah bank dan penjaminan transaksi antarbank, likuiditas dollar juga harus ditambah. Permintaan dollar untuk kebutuhan komersial bulanan memang cukup tinggi, yaitu untuk impor dan bayar utang dollar. Inilah pelajaran bagi Indonesia yaitu kita tidak mempunyai basis industri dalam negeri yang kuat dan pengusaha masih gemar berutang dollar.
Cara menambah pasokan dollar hanya akan terwujud jika eksportir migas dan nonmigas membawa masuk hasil devisa ekspor ke sistem perbankan Indonesia. Tidak sekarang, tetapi dalam jangka panjang, sistem devisa Thailand dan Malaysia bisa kita contoh, yaitu ”bebas tetapi ada aturan”. Hidup ini harus ada aturannya. Contohnya, ekonomi Amerika terbukti jatuh terpuruk karena subprime mortgage, perusahaan sekuritas global dan pengelola hedge funds tidak mereka atur dengan ketat.

Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal


Dari Kompas, Senin 24 November 2008


Sabtu, 22 November 2008

Analisis Ekonomi - Kurangi Beban Ekonomi Pulau Jawa

Bambang PS Brodjonegoro

Siapa pun tidak akan menyangkal bahwa Indonesia sebenarnya masih dalam posisi beruntung di tengah gejolak ketersediaan pangan dan energi dunia. Kekayaan bumi Indonesia akan hasil pangan dan energi sudah menjadi pengetahuan masyarakat domestik dan internasional meskipun sering terjadi kondisi bahwa kekayaan pangan dan energi itu tidak tecermin dalam ketahanan pangan dan energi Indonesia.
Keluarnya Indonesia dari OPEC telah menyadarkan kita atas kenyataan yang sangat pahit di mana Indonesia, yang pernah sangat disegani di OPEC, ternyata telah menjadi negara pengimpor minyak bumi neto. Kenyataan yang hampir mirip juga terjadi pada dua komoditas pangan, yaitu beras dan gula.
Terjadinya ketidaksesuaian antara potensi dan kenyataan menimbulkan pertanyaan atas kesungguhan pemerintah dalam menjaga ketahanan energi dan ketahanan pangan.
Pertanyaan dasar yang akan timbul adalah apakah kebijakan ketahanan energi dan pangan ini akan lebih menitikberatkan pada kecukupan produksi dan pasokan domestik? Atau pada mekanisme perdagangan internasional di mana Indonesia harus melakukan impor energi dan pangan apabila diperlukan?
Melihat pengalaman negara lain, cukup jelas kiranya komitmen pemerintah negara-negara itu untuk bahkan ”memproteksi” komoditas energi dan pangan serta membuat sistem cadangan energi dan pangan nasional untuk memastikan bahwa masyarakatnya tak akan kekurangan energi dan pangan. Dengan kata lain, kecukupan produksi dan pasokan domestik akan lebih merupakan kebijakan yang diprioritaskan.
Kebijakan sektoral
Perdebatan naik turunnya produksi energi dan pangan umumnya terfokus pada kebijakan sektoral, harga komoditas, dan teknologi produksi. Ketiga faktor itu akan memengaruhi kemampuan pasokan energi dan pangan. Namun yang belum banyak dibahas adalah kesalahan strategi pengembangan wilayah dalam menjamin ketahanan pangan dan energi itu sendiri.
Sangat terkonsentrasinya kegiatan ekonomi Indonesia di Pulau Jawa adalah bukti dari kesalahan strategi tersebut, di mana Pulau Jawa yang lahannya terbatas harus menampung porsi penduduk terbesar dengan kontribusi PDB hampir 60 persen dari PDB Indonesia.
Tingginya kegiatan ekonomi di wilayah yang relatif sempit, tidak terhindarkan lagi penambahan infrastruktur dalam skala besar, seperti jalan raya, jalan tol, serta pembangkit dan jaringan listrik.
Bertambahnya wilayah perkotaan di Pulau Jawa, sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi, makin menciptakan tekanan atas infrastruktur perkotaan baru terutama perumahan. Kurang imbangnya laju pertumbuhan ekonomi antara Jawa bagian utara atau daerah pantura dan Jawa bagian selatan menciptakan pula ketidakseimbangan laju pertumbuhan infrastruktur. Ini berakibat makin habisnya lahan pertanian subur di pantura yang dulu dikenal sebagai lumbung beras Indonesia.
Dengan hanya melihat luas wilayah yang akan digunakan untuk pembangunan jalan tol trans-Jawa, dikhawatirkan Pulau Jawa akan kehilangan lahan suburnya, terutama untuk produksi padi pada tahun 2025. Kondisi ini membahayakan ketahanan pangan, apalagi ditambah munculnya potensi minyak bumi juga di wilayah utara Jawa, seperti di Bekasi, Cepu, dan Bojonegoro.
Meskipun mungkin tidak sebesar jalan tol, kebutuhan pembangkit listrik tambahan di Jawa juga akan terkonsentrasi di bagian utara karena lebih dekat dengan pusat beban dan sumber pasokan batu bara. Menjelang tahun 2030 diperkirakan daerah pantai utara Pulau Jawa akan menjadi salah satu daerah perkotaan terpanjang di dunia.
Antisipasi sejak dini
Pemerintah harus mengantisipasi sejak dini untuk mencegah skenario yang dapat mengancam ketahanan pangan dan energi di Indonesia melalui pendekatan pengembangan wilayah yang mengedepankan keseimbangan antara keperluan ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial.
”Membangun luar Jawa” tidak bisa lagi dianggap slogan semata dalam kampanye, tetapi sudah merupakan keharusan.
Pusat pertumbuhan harus lebih disebar dengan memerhatikan konstelasi global, di mana jalur pelayaran internasional seperti Selat Malaka, Selat Sunda—Laut China Selatan, serta Selat Lombok—Selat Makassar akan menjadi lokasi calon-calon pusat pertumbuhan baru.
Penggabungan Batam dan Bintan akan menjadi pesaing serius dominasi Singapura di jalur Selat Malaka. Banten Utara dan Bangka Belitung akan berkembang di jalur Selat Sunda, sedangkan di Selat Makassar, Makassar dan Balikpapan akan jadi pusat pertumbuhan alternatif.
Selain pusat pertumbuhan baru, perlu kebijakan membuka lahan tanaman pangan di luar Jawa dengan memanfaatkan kondisi tanah dan sumber air. Perlu ada keseimbangan dalam pengembangan pertanian di luar Jawa antara pengembangan perkebunan dan tanaman pangan.
Berkembangnya perkebunan tebu di Lampung serta pembukaan lahan tanaman pangan di Merauke mungkin bisa menjawab kekhawatiran menurunnya kontribusi Jawa dalam menghasilkan pangan. Perkebunan tetap perlu dikembangkan mengingat potensi Indonesia yang besar dalam pengembangan bioenergi berbasis hasil perkebunan.
Untuk makin meringankan beban Pulau Jawa, industri harus mulai bergeser lebih dekat ke sumber energi, terutama di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Paradigma saat ini, dengan harga energi yang cukup mahal, adalah lokasi industri mendekati sumber energi. Pada masa lalu, saat harga energi masih murah, lokasi industri lebih mendekati pasar, yaitu di Pulau Jawa.

Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar dan Dekan FEUI

Dari Kompas, Senin 17 November 2008

Analisis Ekonomi - Jaringan Distribusi Gula: Sumber Distorsi?


Jaringan Distribusi Gula: Sumber Distorsi?
Bustanul Arifin

Indonesia sedang mencoba mengembangkan sistem dan jaringan distribusi (baca: tata niaga) gula yang baru. Empat badan usaha milik negara, yaitu Perum Bulog, PT Perkebunan Nusantara, PT Rajawali Nusantara, dan PT Bank Rakyat Indonesia, pada 3 November menandatangani nota kesepahaman dalam hal jaringan distribusi gula alternatif, yang diharapkan lebih efisien (Kompas 7/11).
Jaringan ini memiliki obsesi menjaga stabilitas harga gula, tepatnya mengangkat harga gula petani pada ke tingkat yang memberikan sistem insentif untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Selain diharapkan mampu menekan harga di konsumen agar terjangkau, sekalipun ada gejolak harga gula di pasar internasional.
Masyarakat hanya tidak ingin melihat dan menyaksikan sumber distorsi baru jika pengembangan jaringan distribusi itu tidak didasarkan pada prinsip obyektivitas, kaidah ilmiah, dan pelaksanaan tata kelola yang baik dalam BUMN strategis tersebut.
Jaringan baru itu akan menjadi peletak dasar sistem produksi dan distribusi gula yang akan dikenang masyarakat jika dibangun berdasarkan prinsip efisiensi, kesejahteraan, dan strategis ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.
Dalam ekonomi pertanian, mekanisme stabilisasi seperti itu dinamakan sistem rentang harga, yang sebenarnya memiliki visi mengurangi risiko produksi di tingkat hulu dan mengurangi risiko karena fluktuasi harga, ketidakpastian musim dan iklim, ketersediaan faktor dan sarana produksi, terutama pada usaha tani tebu petani kecil.
Dukungan sistem distribusi dan jaringan pemasaran menjadi sangat vital pada skema yang menekankan pada ketepatan kualitas, kontinuitas pasokan, dan persyaratan teknis lain yang dibutuhkan mata rantai yang berada agak ke hilir.
Masyarakat telah akrab dengan mekanisme seperti itu karena kehadiran lembaga parastatal seperti Bulog. Sudah banyak yang membahas legasi Bulog, perjalanannya selama empat dasawarsa mengawal mekanisme stabilisasi harga pangan strategis, pasang-surut prestasinya terkait politik, birokrasi, kekuasaan, dan kedewasaan berbisnis.
Peran negara menjadi sentral dalam memberi napas pada perumusan, organisasi, dan implementasi kebijakan strategis yang dihasilkan pada aras politik, yang membawa misi besar, seperti peningkatan kesejahteraan rakyat, dan ketahanan pangan.
Masyarakat hanya ingin diyakinkan, apakah pada pengembangan sistem jaringan distribusi gula yang baru, Bulog mengandalkan mandat bisnisnya untuk mengambil keuntungan, atau bagian dari tanggung jawab publik (PSO). Tanpa kejelasan mandat, bayang-bayang ancaman distorsi ekonomi senantiasa menjelma.
Kinerja komoditas gula di dalam negeri sebenarnya tidak buruk walaupun kini dipisahkan penggunaan istilah gula konsumsi dan gula industri. Gula konsumsi adalah yang diproses dari tebu yang dihasilkan petani kecil, perkebunan swasta, dan BUMN di dalam negeri. Adapun gula industri, gula yang diproses oleh industri gula rafinasi, yang bahan bakunya gula mentah impor.
Produksi gula konsumsi 2008 diperkirakan 2,78 juta ton apabila areal panen 450.000 hektar dan produksi tebu sekitar 35 juta ton. Apabila target tercapai, produksi gula Indonesia akan sedikit lebih tinggi dari perkiraan kebutuhan gula konsumsi, 2,70 juta ton.
Kebutuhan gula industri diperkirakan 2,15 juta ton. Sehingga kebutuhan total gula di Indonesia sekitar 4,85 juta ton.
Pemimpin yang kuat
Di tangan seorang pemimpin politik yang kuat dan amanah, lembaga parastatal yang berafiliasi dengan ”kepentingan negara” akan mudah melaksanakan fungsinya secara baik karena efektivitas struktur kebijakan, dari tingkat pusat sampai daerah.
Namun, di tangan pemimpin yang lemah, atau pada kondisi manajemen pemerintahan yang kacau-balau, sebaliknya.
Pada kesempatan lain (Arifin, 2008), penulis menyimpulkan, pasang surut kinerja sistem tata niaga gula di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari tujuan kebijakan, instrumen yang digunakan, strategi, serta kondisi internal, lingkungan eksternal serta tekanan ekonomi dan politik dari berbagai penjuru.
Tanpa mengabaikan dampak positif yang ditimbulkan, kebijakan tata niaga impor gula melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (No. 643/MPP/Kep/9/2002) hanya menghasilkan hambatan masuk, yang justru menimbulkan jalan pintas bagi pemburu rente.
Kemudian, upaya penyempurnaan ketentuan impor gula melalui Surat Keputusan Menteri No. 527MPP/Kep/9/2004 dianggap lebih bervisi “pemerataan” terhadap rente ekonomi yang dihasilkan. Namun, ekonomi gula masih belum memecahkan persoalan strukturalnya.
Dengan hadirnya industri gula rafinasi, tata-nilai ekonomi gula Indonesia lebih rasional. Ini seharusnya menantang pemangku kepentingan gula untuk meningkatkan efisiensi produksi, menguasai sistem informasi pasar, dan meningkatkan kualitas organisasi petani dan pabrik gula.
Sejarah mengajarkan, sistem rasional-modern dan sistem kolektif-tradisional dapat hidup berdampingan, saling menghormati dan menghargai, bukan saling jegal dan bersaing tidak sehat, yang akan merugikan fondasi ekonomi Indonesia.
Dalam konteks itu, pendapat Profesor Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi 1998, layak diperhatikan. ”Sulit dibayangkan, proses pembangunan yang substansial dapat berlangsung tanpa pemanfaatan pasar secara ekstensif walaupun hal itu tidak harus menegasikan peran dukungan sosial, regulasi negara, dan perancangan kebijakan yang mampu memperkaya dan memberi makna, bukan memperburuk, kualitas hidup manusia.”

Bustanul Arifin Guru Besar Unila; Ekonom Senior Indef, dan Professorial Fellow MB-IPB


Dari Kompas, Senin 10 November 2008


Analisis Ekonomi - Menyikapi Gejolak Rupiah


Faisal Basri

Selama lebih dari dua tahun tiga bulan (15/6/2006 hingga 5/10/2008), kurs rupiah tergolong sangat stabil di kisaran Rp 9.000-Rp 9.500. Pada periode tersebut, rupiah tak pernah menyentuh di bawah Rp 9.500 per dollar AS. Justru sebaliknya, tercatat selama 27 hari menguat, menembus Rp 9.000 per dollar AS dengan level tertinggi Rp 8.672 pada 23 Mei 2007.
Pergerakan rupiah selama kurun waktu tersebut agak berbeda dengan kebanyakan mata uang dunia. Tatkala sejumlah mata uang dunia mengalami penguatan terhadap dollar AS, nilai rupiah tak bergerak. Demikian pula ketika terjadi proses pembalikan, nilai rupiah tak ikut terseret turun. Kecenderungan demikian berlangsung hingga awal Oktober 2008.
Nilai tukar rupiah mulai lunglai sejak 6 Oktober—mengikuti kecenderungan global—hingga mencapai titik terendah Rp 11.743 per dollar AS pada 28 Oktober 2008. Minggu lalu kurs tengah Bank Indonesia ditutup pada level Rp 10.995 per dollar AS. Boleh dikatakan, penyebab utama dari depresiasi rupiah dalam sebulan terakhir adalah imbas dari krisis finansial global.
Sepintas, fenomena penguatan dollar AS terhadap hampir semua mata uang dunia bagaikan anomali. Bagaimana mungkin suatu negara yang sedang didera krisis parah dan sangat haus dana untuk menalangi dan menyelamatkan korporasi-korporasi besar justru mata uangnya menguat. Penguatan dollar AS begitu tiba-tiba. Padahal, tiga bulan lalu nilai tukar dollar AS masih menunjukkan kecenderungan melemah.
Bukankah perekonomian AS masih menghadapi defisit struktural: konsumsi melebihi produksi, impor lebih besar dari ekspor, dan belanja pemerintah federal melampaui penerimaan pajak. Semua ini harus ditutup dengan utang, termasuk menyedot dana luar negeri, sehingga seharusnya dollar AS melemah.
Namun, dunia sedang bergejolak. Krisis finansial di AS merambah seperti spiral, tak sebatas hanya menjerat negara-negara yang terjalin erat dengan sektor keuangan AS, tetapi sudah merasuki seantero jagat.
Oleh karena itu, sebetulnya penguatan dollar AS bukan disebabkan karena orang menginginkan mata uang negara adidaya ini, melainkan karena mereka menginginkan alternatifnya lebih sedikit (David Hale, Time. 25/10/2008, halaman 21). Karena itulah harga emas dan komoditas lain pun ikut merosot.
Diversifikasi dana
Sekalipun kita belum tahu berapa lama lagi krisis yang membuat likuiditas dunia mengering, kita yakin bahwa uang memiliki logika dasar yang tak berubah, yakni tak akan menyemut di satu tempat. Investor akan selalu mendiversifikasikan dananya untuk mengurangi risiko. Lambat laun, dana akan kembali mengalir ke berbagai penjuru dunia. Kala itu, persaingan untuk menarik dana akan kembali marak.
Kita tak boleh berpangku tangan, sekadar menunggu sampai masa itu datang. Masih banyak yang bisa kita perbuat untuk meminimalkan dampak negatif krisis finansial global.
Tantangan terbesar adalah memperkokoh keseimbangan eksternal. Kita patut bersyukur bahwa sejak krisis tahun 1998 transaksi berjalan tahunan selalu surplus, walau secara triwulanan sempat tiga kali defisit.
Surplus transaksi berjalan merupakan modal sangat berharga dalam menghadapi kekeringan likuiditas dunia karena ketergantungan pada arus modal masuk berkurang. Selama 1998 hingga 2003, defisit arus modal bisa sepenuhnya ditutup oleh surplus transaksi berjalan sehingga cadangan devisa praktis terus-menerus mengalami peningkatan. Dengan demikian, nilai tukar rupiah tetap terjaga.
Kita harus waspada menghadapi kecenderungan surplus transaksi berjalan yang melorot belakangan ini. Selama 2006 dan 2007 surplus transaksi berjalan masih di atas 10 miliar dollar AS, tetapi pada semester pertama 2008 tercatat baru 851 juta dollar AS. Itu pun dengan catatan: pada triwulan kedua sudah mengalami defisit.
Sejauh ini kita masih bisa berharap, kalaupun terjadi defisit, jumlahnya relatif kecil. Ekspor mungkin akan melemah, tetapi impor pun akan turun, terutama impor produk minyak.
Sepanjang penerimaan devisa dari TKI di luar negeri dan sektor pariwisata bisa diamankan, defisit transaksi berjalan yang besar dapat dihindarkan.
Tantangan kedua, terutama untuk jangka menengah, adalah memperbaiki struktur arus modal masuk. Depresiasi rupiah dalam sebulan terakhir, antara lain, juga karena faktor ketergantungan yang meningkat terhadap investasi asing jangka pendek dalam bentuk portofolio. Selama semester I-2008, arus modal masuk bersih untuk portofolio mencapai lebih dari tiga kali lipat penanaman modal asing langsung berjangka panjang. Adalah arus modal masuk dalam bentuk portofolio yang deras inilah yang kemudian keluar kembali dalam seketika sehingga rupiah lunglai.
Tantangan ketiga adalah meredam faktor psikologis. Masyarakat belum sepenuhnya terbebas dari trauma krisis 1998. Sebagian dari mereka khawatir pergerakan rupiah bakal tak terkendali, padahal kondisi masa itu tak lagi terulang sekarang. Utang luar negeri jangka pendek dewasa ini hanya 34 persen dari cadangan devisa, jauh lebih rendah daripada tahun 1998 yang mencapai hampir 200 persen.
Yang juga bisa meredam dampak psikologis adalah langkah- langkah pemerintah dan BI untuk memperlancar lalu lintas pembayaran luar negeri. Jangan sampai para pengusaha memburu dollar AS karena perbankan teramat memperketat persyaratan pembayaran. Misalnya, dewasa ini beberapa bank menetapkan ketentuan pembayaran 100 persen di muka untuk pembukaan letter of credit (L/C) bagi importir. Padahal, selama ini cukup sekitar 20 persen saja.
Akhirnya, kita tak perlu terpaku pada ”angka keramat” Rp 10.000 per dollar AS. Sesekali rupiah boleh menembus Rp 10.000. Asalkan volatilitas pergerakan rupiah terjaga dan fundamental penopang rupiah tetap sehat, rasanya kita tak perlu waswas rupiah bakal terjungkal.

Faisal Basri Pengamat Ekonomi


Dari Kompas, Senin 3 November 2008

Analisis Ekonomi - Suku Bunga Antarbank Mulai Turun


Mirza Adityaswara

Tulisan ini mengajak masyarakat memahami apa yang sebaiknya diperhatikan dalam menyikapi gejolak ekonomi global yang sedang kita hadapi saat ini.
Kondisi indeks bursa saham memang paling mudah diakses oleh media. Namun, indeks Bursa Efek Indonesia (BEI) bukanlah patokan yang tepat untuk menggambarkan keadaan ekonomi Indonesia karena BEI terimbas oleh sentimen negatif investor portofolio di seluruh dunia yang sedang tidak rasional.
Kepemilikan investasi saham oleh masyarakat Indonesia masih sangat kecil, apalagi sifat bursa saham cenderung overshoot, yaitu bisa naik terlalu tinggi ataupun turun terlalu tajam.
Pada saatnya nanti ketika perbankan internasional mulai menyalurkan kredit dan produk domestik bruto (PDB) Amerika dan Eropa mulai pulih, indeks bursa saham dunia tentunya akan naik perlahan-lahan.
Indikator pasar keuangan apa yang lebih tepat menggambarkan kondisi pasar keuangan Indonesia saat ini? Sebaiknya kita melihat kepada kondisi likuiditas pasar uang, tecermin pada suku bunga antarbank.
Krisis pasar keuangan yang melanda dunia saat ini berawal dari kerugian besar yang dialami perbankan di Amerika dan Eropa karena investasi mereka di subprime credit jeblok.
Kerugian besar yang dialami perbankan internasional kemudian merembet kepada rasa saling tidak percaya antarbank internasional. Karena itu, untuk sementara waktu mereka mengurangi transaksi pinjam-meminjam antarbank.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya likuiditas ketat di seluruh dunia, terutama likuiditas valuta asing. Situasi likuiditas ketat sedang ditangani oleh semua bank sentral di dunia.
Bank sentral di negara masing-masing melakukan injeksi likuiditas mata uang lokal ke sistem perbankan. Contohnya, Bank Sentral Amerika melakukan injeksi likuiditas dollar.
Bank Sentral Jepang melakukan injeksi likuiditas yen, sedangkan Bank Sentral Eropa melakukan injeksi euro. Hal ini pun dilakukan Bank Indonesia yang melakukan injeksi likuiditas rupiah dengan melonggarkan fasilitas ”repo” dan menurunkan giro wajib minimum perbankan (GWM).
Pelonggaran GWM mulai minggu ketiga Oktober sudah memberikan tambahan likuiditas rupiah sekitar Rp 55 triliun dan tambahan likuiditas valuta asing sekitar 400 juta dollar AS. Injeksi likuiditas dollar juga dilakukan lewat mekanisme swap dollar oleh Bank Sentral Amerika dengan beberapa negara di Eropa.
Usaha serentak ini mulai menunjukkan hasil. Per minggu lalu, suku bunga antarbank dalam dollar atau London Inter Bank Offer Rate (LIBOR) untuk pinjaman satu hari (overnite) telah turun signifikan dari 4,5 persen menjadi 1 persen.
LIBOR untuk pinjaman 1 dan 3 bulan juga turun dari 4,5 persen menjadi 3,2 persen-3,5 persen. Dalam situasi normal, LIBOR berada tidak jauh dari suku bunga Bank Sentral Amerika (Fed Fund Rate) yang saat ini 1,5 persen.
Artinya, pada saat ini suku bunga antarbank untuk pinjaman satu hari telah normal, tetapi suku bunga pinjaman di atas 1 bulan, walaupun juga turun, masih agak tinggi.
Agar perbankan internasional bersedia melakukan transaksi lebih panjang dari sekadar overnite, beberapa negara maju telah memberikan penjaminan untuk transaksi pinjam-meminjam antarbank dan penerbitan surat utang bank.
Kabar baik juga ada di perbankan Indonesia. Walaupun BI tidak menurunkan BI Rate, likuiditas rupiah sebenarnya sudah lebih longgar.
Suku bunga rupiah antarbank untuk transaksi satu hari telah turun dari 12 persen menjadi 10 persen. Suku bunga antarbank rupiah untuk transaksi 1 bulan juga turun menjadi 11 persen dibandingkan dengan 13 persen pada bulan September 2008.
Diharapkan kondisi yang membaik ini terus terjaga, hal mana ditentukan oleh kesigapan pemerintah plus bantuan dari semua pihak untuk memberikan keteduhan.
Selain tambahan likuiditas, perbankan Amerika dan Eropa memerlukan apa lagi? Bank tidak bisa berfungsi menyalurkan kredit kepada sektor riil jika bank memiliki kredit macet dan modal bank menyusut.
Artinya, perbankan di AS dan Eropa harus membersihkan neracanya dari kredit macet. Setelah neraca dibersihkan dari kredit bermasalah, mereka memerlukan injeksi modal karena ekuitasnya tergerus oleh kerugian. Oleh karena itu, Pemerintah AS dan Inggris telah menyetujui paket injeksi modal dan mengambil alih kredit bermasalah 700 miliar dollar AS dan 500 miliar poundsterling.
Agar masyarakatnya tenang, banyak negara di dunia memberikan penjaminan dana nasabah perbankan. Walaupun perbankan Indonesia dalam kondisi aman, demi menjaga stabilitas sistem keuangan, Indonesia telah cepat melakukan antisipasi, menaikkan penjaminan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar per nasabah bank.
Setelah Pemerintah Indonesia bertindak, ternyata beberapa negara tetangga lebih ”sigap”, yaitu memberikan penjaminan penuh. Akan tetapi, masyarakat tidak perlu khawatir, peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang baru saja diterbitkan telah memberi kuasa kepada pemerintah untuk menaikkan penjaminan dana nasabah jika dianggap perlu. Tentu saja dukungan DPR sangat diharapkan oleh masyarakat dalam proses ini.
Selain kondisi bursa saham, perhatian masyarakat Indonesia juga selalu berlebihan tertuju kepada kurs rupiah terhadap dollar. Padahal, kurs rupiah hanya melemah 8 persen pada tahun ini.
Pelemahan rupiah yang terkendali akan menolong eksportir yang terkena resesi ekonomi global. Selain itu, juga dibutuhkan untuk menurunkan impor agar surplus devisa neraca perdagangan terjaga.
Penurunan harga komoditas dunia telah memukul daya beli masyarakat di luar Jawa, tetapi menurunkan inflasi di seluruh Indonesia.
Jika inflasi mulai turun, BI Rate tentunya tidak perlu naik lagi. Selain itu, penurunan harga minyak telah memperbaiki posisi defisit anggaran pemerintah karena mengecilnya subsidi bahan bakar minyak.


Dari Kompas, Senin 27 Oktober 2008


Analisis Ekonomi - Mengurangi "Multiplier" Kecemasan


M Chatib Basri

Amerika Serikat hari ini adalah negeri yang cemas dan panik. Gejolak keuangan telah membawa akibat bangkrutnya banyak lembaga keuangan di sana. Akibatnya, neraca (balance sheet) berbagai lembaga keuangan mengalami tekanan. Perbankan membutuhkan injeksi modal untuk rekapitalisasi.
Kecemasan ini saya rasakan awal Oktober di Brookings Institution di Washington DC, AS, ketika duduk bersama sejumlah ekonom di dalam Asian Economic Panel. Dalam sesi yang dipimpin Jeffrey Sachs itu dijelaskan betapa muramnya situasi di AS. Martin Bailey, penasihat ekonomi Presiden Clinton, berbicara: AS akan mengalami pertumbuhan negatif sampai dengan paruh kedua 2009. Tak berhenti di sana, AS juga ”mengekspor” kecemasan, kepanikan, dan kerugian ke seluruh dunia.
Mekanismenya—seperti yang ditulis Paul Krugman melalui international finance multiplier—di mana tekanan pada neraca di satu lembaga keuangan yang high leverage akan berdampak terhadap neraca di negara lain. Kekurangan modal akan mendorong mereka menarik uangnya keluar dari berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Likuiditas mengering.
Guillermo Calvo (2005) menulis sebuah risalah tentang ini. Argumennya: investor di emerging market (EM) sebenarnya terbatas karena tak banyak ”spesialis” EM. Jika ada spesialis EM yang mengalami kebangkrutan, ia akan menjual portofolionya kepada spesialis EM yang lain. Namun, karena spesialis EM terbatas—dan mungkin mengalami kesulitan keuangan—ia harus menjualnya kepada ”nonspesialis” EM.
”Nonspesialis” karena tak memiliki informasi yang sempurna, hanya akan membeli dengan harga yang amat murah. Akibatnya, biaya modal bagi EM menjadi sangat mahal. Arus modal masuk bisa terhenti. Ini dapat menimbulkan kepanikan yang luar biasa.
Langkah tepat perpu
Di sini saya melihat kecepatan pemerintah mengeluarkan perpu untuk menjaga stabilitas sektor keuangan yang mencakup pemberian fasilitas pembiayaan/pinjaman, penyertaan modal sementara jika terjadi krisis serta peningkatan jaminan simpanan—walau mungkin harus ditingkatkan untuk menghindari arbitrase modal ke negara lain— merupakan langkah yang tepat untuk menghindari kepanikan.
Langkah berikutnya adalah sektor riil. Krisis global ini akan memengaruhi sektor yang memiliki kandungan impor yang tinggi dan yang berorientasi ekspor. Langkanya dollar AS akan menyulitkan perusahaan membiayai impornya.
Di sisi lain, lemahnya situasi global akan menurunkan ekspor. Sektor seperti tekstil, elektronik, dan sepatu akan mengalami persoalan. Menurunnya daya beli akan memindahkan permintaan dari high end ke low end product.
Sektor komoditas, seperti kelapa sawit, juga tertekan akibat menurunnya harga internasional. Implikasinya, risiko di sektor riil naik dan perbankan enggan menyalurkan kredit. Ini tak bisa diselesaikan hanya dengan menambah likuiditas.
Ketidakpastian membuat biaya pengawasan perbankan tinggi. Ini yang dikenal dengan istilah agency cost. Akibatnya, bunga pinjaman naik. Dalam situasi ini, bisa jadi hanya perusahaan yang nekat yang mau mengambil pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi, sebaliknya perusahaan yang baik justru terpukul (adverse selection).
Perusahaan yang bisa bertahan ke depan adalah perusahaan yang memiliki sumber dana internal, cash rich, atau yang skala ekonominya tak menuntut kredit skala besar.
Yang menarik, data tahun 1998 menunjukkan, dampak kepada industri makanan dan minuman relatif terbatas karena permintaan terhadap makanan inelastic (tak banyak terpengaruh). Industri makanan dan minuman punya kontribusi hampir sekitar 28 persen dari industri pengolahan nonmigas karena itu perannya amat penting.
Ke depan, ia bisa menjadi sektor penolong. Pendeknya: pasar domestik adalah solusi, tetapi tak mudah. Untuk memproduksi dibutuhkan modal kerja. Karena pasar modal dan obligasi mengalami tekanan, perusahaan harus bergantung pada perbankan. Ketika perbankan memperketat kreditnya, perusahaan terpaksa mengurangi produksi dan tak sepenuhnya dapat memenuhi permintaan domestik.
Di sini saya melihat perpu yang dikeluarkan pemerintah dan antisipasi Bank Indonesia untuk melonggarkan likuiditas sangat membantu. Namun, itu tak cukup mengurangi agency cost. Hal lain yang harus dilakukan, misalnya, menyediakan informasi mengenai sektor yang dianggap memiliki risiko rendah.
Aturan-aturan pemerintah
Informasi yang penting adalah mengenai aturan-aturan pemerintah dan rencana kebijakan yang berkaitan dengan industri tersebut. Selain itu, mengingat informasi yang tak simetris juga merupakan soal utama di usaha kecil, maka skema penjaminan kredit untuk UKM dalam skala tertentu perlu diperkuat.
Perbankan perlu berinvestasi lebih jauh dalam credit research dan pengawasan. Selain itu, peran pasar uang nonbank menjadi amat penting karena akan mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan dari perbankan dan membantu menurunkan tingkat bunga pinjaman.
Kecemasan dan kepanikan menjadi ”komoditas baru” yang diekspor AS dan Eropa, tak ada yang bisa menghindar. Namun, dengan antisipasi yang baik— dan pelajaran 1998—ada ruang untuk meminimalkan dampaknya sehingga multiplier kecemasan bisa dikurangi.
M Chatib Basri Pengamat Ekonomi


Dari Kompas, Senin 20 Oktober 2008


Analisis Ekonomi - Fokus pada Perbankan, Jangan pada Bursa Efek


Mirza Adityaswara

Judul tulisan ini sengaja mengajak peme-rintah dan kita semua jangan terlalu terpana dengan kejatuhan indeks Bursa Efek Indonesia. Kita harus menempatkan perma-salahan pada proporsinya dan berpikir jernih. Harga saham jatuh, tetapi harga minyak juga jatuh sehingga membuat anggaran pemerintah berada pada posisi yang baik. Sebagai bagian dari sistem keuangan global, adalah hal yang wajar jika saat ini indeks bursa saham Indonesia ikut jatuh. Akan tetapi, dampak penurunan harga saham di Amerika Serikat dengan di Indonesia berbeda kepada masyarakatnya.
Di Amerika Serikat, lebih dari 60 persen rakyatnya mempunyai investasi di saham. Di Indonesia, hanya segelintir masyarakat, bahkan kurang dari 1 juta orang yang berinvestasi langsung di bursa saham. Yang lain berinvestasi tidak langsung, lewat reksa dana, tetapi jumlah nilai investasi reksa dana ”saham dan campuran saham” hanya sekitar Rp 30 triliun.
Pihak lain yang berinvestasi di pasar saham adalah perusahaan asuransi dan dana pensiun, tetapi sebagian besar investasi mereka ada di deposito perbankan, plus sebagian di Surat Utang Negara. Jadi, kita dan pemerintah tidak harus hiruk-pikuk dengan penurunan indeks Bursa Efek Indonesia (BEI). Pelonggaran peraturan harus bersifat sementara, membantu industri pasar modal. Pihak yang memanfaatkan situasi dengan menyebarkan isu negatif memang perlu ditertibkan, tetapi tentunya dengan memegang asas praduga tak bersalah.
Berhubung krisis global yang terjadi adalah krisis perbankan, maka yang diobati bukanlah pasar saham. Contohnya, paket penyelamatan sektor keuangan yang diumumkan di AS dan Inggris adalah paket penyehatan perbankan, bukan paket penyelamatan pasar saham.
Pasar saham dunia akan pulih jika perbankan dunia kembali sehat. Pengumuman pelonggaran aturan buy back saham jangan ditujukan untuk mendongkrak indeks BEI. Pelonggaran aturan itu harus dibaca sebagai upaya memberikan kesempatan kepada emiten yang mempunyai kelebihan likuiditas memanfaatkan momentum ”harga murah” membeli kembali saham perusahaan. Jika suatu saat nanti (misalnya satu tahun lagi) indeks bursa dunia pulih, emiten tersebut dapat menjual sahamnya kembali ke pasar dengan harga lebih tinggi sehingga meningkatkan laba.
Prinsip kehati-hatian
Tidak boleh ada paksaan kepada emiten BUMN untuk membeli kembali sahamnya. Dalam kondisi likuiditas perbankan ketat, semua perusahaan harus mengutamakan dana untuk operasional sehari-hari, termasuk kalau bisa menyelesaikan ekspansi yang setengah jalan. Sekali lagi, pertimbangannya harus komersial, dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian.
Selain investor saham, yang juga dirugikan dari penurunan harga saham adalah korporasi karena pasar saham sedang tidak bisa dipakai menjaring dana ekspansi usaha. Namun, yang paling dirugikan adalah perusahaan yang agresif, meminjam dana besar dengan menggunakan saham sebagai jaminan. Karena harga saham jatuh, maka nilai jaminan jatuh, sehingga mereka harus menambah nilai jaminan. Jika jeli, pemerintah dan BUMN yang likuid mungkin bisa memanfaatkan situasi ini dengan membeli saham pertambangan yang saat ini sedang murah. Contohnya, jika BUMN pertambangan membeli perusahaan batu bara swasta, pemerintah diharapkan bisa meminta tambahan volume pasokan batu bara untuk kebutuhan domestik.
Apakah pemerintah sudah fokus kepada sektor perbankan? Jawabannya sudah. Dana simpanan nasabah perbankan berjumlah Rp 1.530 triliun. Walaupun kondisi perbankan kita saat ini sehat, DPR, BPK, dan aparat penegak hukum diharapkan menyadari bahwa situasi ekonomi dunia sedang mengalami krisis perbankan sehingga Indonesia harus melakukan antisipasi. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan meningkatkan jumlah jaminan dana nasabah. Sebaiknya dari Rp 100 juta menjadi Rp 1 miliar atau bahkan Rp 5 miliar per nasabah. Pemerintah juga meminta persetujuan DPR menyetujui UU atau Perpu Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Sebagai contoh, bank sentral di AS dan Inggris saat ini bersedia membuka keran likuiditas kepada perbankan dengan jaminan surat utang yang tidak likuid. Indonesia juga harus memiliki sistem pengaman sejenis.
Pemerintah berjanji akan mempercepat pencairan pengeluaran. Bank Indonesia akhirnya bersedia melonggarkan likuiditas dengan diturunkannya giro wajib minimum perbankan.
Dibandingkan mata uang India, Korea, Brasil, dan Thailand yang sudah melemah lebih dari 15 persen pada 2008, maka rupiah yang hanya melemah 4 persen adalah cukup baik. Bahkan pelemahan rupiah yang terkendali justru positif untuk ekspor kita karena pasar di Amerika dan Eropa sedang resesi.
Turunnya harga komoditas kelapa sawit dan pertambangan berdampak negatif kepada daya beli masyarakat di Sumatera dan Kalimantan. Karena itu, likuiditas perbankan harus tersedia sehingga perbankan bisa tetap menyalurkan kredit untuk menopang daya beli masyarakat dan operasional perusahaan. Sektor pariwisata dan pengiriman TKI harus diperkuat.
Setelah BI melonggarkan likuiditas rupiah, perlu dipikirkan bagaimana menambah likuiditas dollar dan memfasilitasi transaksi ekspor-impor yang mungkin sementara waktu seret karena pengetatan manajemen risiko di perbankan internasional.
Semoga pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 tidak turun di bawah prediksi IMF (5,5 persen). Yang terpenting kita harus waspada, tetapi tetap berpikir jernih dan bekerja produktif menghadapi situasi.
Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal


Dari Kompas, Senin 13 Oktober 2008


Analisis Ekonomi - Menepis Gejolak Krisis Keuangan Dunia



Faisal Basri

Kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism) tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di sektor keuangan tumbuh meroket ratusan kali lipat dibandingkan dengan nilai perdagangan dunia.
Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.
Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.
Itulah yang dewasa ini terjadi di Amerika Serikat dan merembet ke negara maju lainnya karena sesama mereka terkait satu sama lain. Krisis keuangan yang melanda AS juga sekaligus mengindikasikan bahwa mekanisme pasar masih menjalankan perannya, yakni mengoreksi pelaku-pelaku yang tidak tunduk pada kaidah fundamental pasar.
Bagaimana mungkin perekonomian AS selama bertahun-tahun bisa membiayai Perang Irak, membiarkan defisit anggaran (APBN) terus menggelembung, dan pada periode yang sama mengalami defisit perdagangan luar negeri. Sementara itu, tingkat tabungan masyarakat AS sangat rendah, utang rumah tangga telah melampaui pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Untuk membiayai perekonomian yang boros, satu-satunya cara ialah terus berutang. Surat- surat utang terus diterbitkan, baik oleh pemerintah maupun swasta, lalu disantap oleh investor, termasuk dari Indonesia.
Kapitalisme pengisap
Jadi, kalau kekacauan ekonomi di AS akan merembet ke hampir seluruh dunia, itu merupakan konsekuensi dari perilaku masyarakat dunia yang terseret ke dalam irama permainan AS. Padahal, peran AS di dalam perekonomian dunia tak lagi sedigdaya pada tahun 1970-an. Kini produk domestik bruto AS yang telah dikoreksi dengan daya beli (purchasing power parity) tinggal 21 persen saja. Sebaliknya, telah muncul kekuatan baru, seperti China dan India.
Kita sedang menghadapi proses menuju keseimbangan baru sebagai konsekuensi dari pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Proses ini tentu saja akan ditandai oleh penyesuaian perilaku dan tata aturan menuju mekanisme yang lebih harmoni dan berkeadilan. Pendulum betul-betul sedang berayun, lambat laun menjauh dari financially-driven capitalism yang sangat ribawi itu, yang menghasilkan kemakmuran semu dan bersifat mengisap karena yang mengedepan adalah zero-sum game, bukan shared prosperity.
Pelajaran untuk kita
Kita tak boleh membiarkan diri terperangkap pada pola atau perilaku ”lebih besar pasak daripada tiang”, apalagi kalau pengeluaran yang menggelembung didominasi oleh belanja konsumtif sebagaimana terlihat dari postur APBN kita. Sangat disayangkan jika peningkatan penerimaan APBN sebagian besar dibelanjakan untuk belanja pemerintah pusat dan subsidi tak terarah. Defisit APBN yang lebih diakibatkan pola pengeluaran demikian tak boleh lagi ditoleransi. Pola seperti itulah yang terjadi di AS.
Belanja pemerintah pusat seharusnya tak meningkat tajam karena era otonomi mengharuskan postur pemerintah pusat lebih langsing. Bukankah seluruh fungsi pemerintahan, kecuali di lima bidang sebagaimana diamanatkan undang-undang, harus diserahkan kepada daerah.
Mengapa justru setelah era otonomi jajaran eselon satu bertambah? Mengapa tidak terjadi pengalihan sebagian fungsi kementerian pada lembaga-lembaga independen? Defisit anggaran hanya bisa dibenarkan jika untuk meningkatkan kapasitas produktif.
Tantangan kedua ialah menghentikan gejala dini deindustrialisasi. Gejala ini terlihat dari penurunan sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB yang sudah terjadi secara konsisten sejak 2005. Padahal, industrialisasi di Indonesia masih relatif jauh dari optimal.
Memang pemerintah telah cukup banyak berbuat, tetapi kebanyakan tindakan yang telah diambil sejauh ini sudah teramat usang. Lihat saja Keputusan Presiden tentang Kebijakan Industri Nasional yang dikeluarkan Mei 2008 yang tak memiliki skala prioritas. Semua hendak dimajukan dan ditawarkan insentif. Hasilnya bisa diduga, yakni tak akan ada satu paket insentif pun yang secara berarti akan memajukan industri tertentu yang pada gilirannya akan mendongkrak kinerja industri manufaktur.
Pemerintah juga menawarkan konsep kawasan ekonomi khusus (KEK) untuk memajukan industri. Konsep KEK ini boleh dikatakan usang dan tak bakal menawarkan sesuatu yang berarti bagi kemajuan perekonomian dan daya saing nasional. Bukankah tanpa KEK pun hampir semua aspek perekonomian Indonesia sudah sangat liberal?
Kemunduran relatif sektor industri pada gilirannya akan memperlemah landasan ekspor. Sekarang saja sudah terbukti, sebagaimana terlihat dari penyusutan surplus perdagangan akibat kemerosotan harga-harga komoditas. Tanpa memajukan industri manufaktur, sama saja dengan melakukan pembiaran atas pengerukan kekayaan alam dengan penciptaan nilai tambah ala kadarnya sehingga tak akan memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33.
Dampak selanjutnya dari pelemahan kinerja industri adalah terhadap pola lalu lintas modal yang masuk (capital inflow). Dalam dua tahun terakhir, modal yang masuk lebih didominasi oleh investasi jangka pendek ketimbang penanaman modal asing langsung yang bersifat jangka panjang.
Kalau kecenderungan di atas terus berlangsung, sama saja kita secara sukarela menjadi mangsa dari financially-driven capitalism yang amat buas itu.




Dari Kompas, Senin 6 Oktober 2008


Politika 22 November 2008 - Mau, Mampu, Malu

Budiarto Shambazy

Unit Cyber Crime, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri melacak penyebar e-mail tentang bank yang kesulitan likuiditas. Info disebarkan seorang karyawan perusahaan sekuritas kepada para kliennya.
Bank melapor kepada polisi, si karyawan diperiksa. Tanpa bermaksud menyalahkan, ini cermin tata kelola krisis yang keliru. E-mail ruang pribadi dan sukar menentukan ia dapat dianggap meresahkan. Kini lihat saja apa yang terjadi dengan Bank Century?
Saya tersinggung menerima SMS politik yang mengelu-elukan tokoh tertentu. Apakah Unit Cyber Crime mau mengusut pelanggaran privasi itu?
Gubernur BI meminta masyarakat berhenti memborong dollar AS. Namun, tiap ada pengumuman kekayaan, ketahuan banyak menteri yang gemar menabung dollar AS.
Sedari dulu tak ada pejabat yang cinta rupiah. Tak usah heran rakyat berbondong-bondong menjadi spekulan dollar AS.
Ini contoh-contoh yang memperlihatkan pemerintah tak punya ”pohon komunikasi” yang memadai saat krismon mengancam. Juru bicara dan Menteri Komunikasi dan Informatika diam seribu bahasa.
Beberapa bulan lalu di rubrik ini, saya menulis tentang ancaman krismon. Asumsinya, semua pemimpin mestinya sudah menjadi ”pakar krismon” yang ngerti apa yang harus dikerjakan berkat pengalaman 1997-1998.
Ternyata mereka tetap berkelas pemula. Sejumlah kalangan menyayangkan suspensi perdagangan saham, buy back saham oleh BUMN, pertentangan di kabinet, bahkan permintaan mundur seorang menteri.
Lagi-lagi tak ada yang terang benderang. Wajar aneka berita gentayangan, termasuk analisis karyawan perusahaan sekuritas itu. Masih segar dalam ingatan sikap para pejabat dalam periode medio sampai akhir 1997 menjelang krismon. Semua pejabat kayak burung beo serentak bernyanyi, ”Jangan khawatir, fundamental ekonomi kita kuat.”
Nyatanya, pada awal 2008 negara ini menjadi penderita krismon terparah di dunia. Lebih berbahaya lagi, krismon itu merembet menjadi kerusuhan Mei.
Tolong jangan main-main dengan ancaman krismon kali ini. Apalagi, ada potensi kemungkinan terjadinya benturan antara ancaman krismon dan penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2009.
Tiba saatnya pemerintah mau terang benderang, termasuk menyiapkan masyarakat agar tenang, tegar, dan tenteram. Lebih baik realistis daripada pura- pura semua beres.
Bukan bermaksud menggurui, tetapi pembentukan sistem peringatan dini (early warning system) bukan hal sukar. Juga tak sulit bagi pejabat untuk menunjukkan teladan saat krismon mengancam.
Mereka perlu memprakasai gerakan cinta rupiah yang tak memaksa. Juga penting pejabat memelopori penghematan, berhenti pergi ke luar negeri, bahkan kalau perlu rela mengurangi fasilitas dan gaji.
Tolong jangan ulangi kebijaksanaan bail out penuh tipu muslihat ala BLBI. Pengemplang buron bisa membeli kembali aset mereka sambil ongkang-ongkang kaki di luar negeri.
Sebagai ilustrasi, tiru apa yang dilakukan Amerika Serikat. Mereka, tak seperti Jepang, belum lagi memaklumatkan diri secara resmi memasuki masa resesi.
Namun, Presiden George W Bush dan Menteri Keuangan Henry Paulson berulang kali mengucapkan dua kata penting, efek jangka panjang (long term effects) dan malapetaka (calamity). Krismon kali ini akan berkepanjangan dan berakibat dahsyat sekali.
Baru separuh dari total dana talangan 700 miliar dollar AS disuntikkan kepada sekitar 20 bank dan lembaga keuangan. Separuhnya baru akan digelontorkan setelah Presiden Barack Obama dilantik 20 Januari 2009.
Maknanya satu: tiap tahap penyelamatan dipikirkan dan dikerjakan secara hati-hati. Rakyat dapat menyaksikan proses itu secara terbuka lewat koran, internet, dan televisi.
Kongres bekerja maraton lewat dengar pendapat puluhan kali. Industrialis, bankir, pakar, pejabat, mantan pejabat, dan serikat buruh memberikan kesaksian dengan jujur sekali.
Sebagian, seperti mantan Gubernur Bank Sentral AS Allan Greenspan, bahkan mengaku salah dan minta maaf. Tak mustahil ia (juga beberapa bankir dan senator) akan terkena sanksi.
Kini ”Tiga Besar” otomotif (Ford, General Motors, dan Chrysler) menunggu dana talangan 25 miliar dollar AS. Jika akhir tahun 2008 dana itu gagal keluar, sekitar 3 juta orang kehilangan pekerjaan.
Sampai akhir tahun, PHK di AS mencapai lebih dari 1 juta orang. Citicorp, DHL, AIG, Lehman Brothers, dan raksasa lain telah mengurangi puluhan ribu karyawan masing- masing.
Tiap pemangku kepentingan ekonomi menyadari makna dari kata long term effects dan calamity tadi. Bukan apa-apa, mereka amat khawatir Depresi Besar 1932 terulang kembali.
Itu sebabnya tata kelola krismon di sana menjunjung tinggi prinsip ”tak ada dusta di antara kita”. Mereka yang salah minta maaf dan bisa dijatuhi sanksi, yang benar-benar butuh dana pun diperiksa secara saksama.
Soalnya dana 700 miliar dollar AS itu uang rakyat—bukan milik Kongres pemerintah. Berbeda dengan tata kelola krismon 1997-1998 yang menganggap dana talangan milik nenek moyang mereka.
Saya khawatir tata kelola krismon 1997-1998 terulang kembali. Soalnya pepatah ”keledai tak mau terantuk dua kali” sering kali tak berlaku di negeri ini.
Saya senang ancaman krismon mengubah drastis persepsi rakyat tentang kemampuan caleg/capres ke Pemilu/Pilpres 2009. Boleh saja ”mau” jadi caleg/capres, tetapi rakyat tahu Anda belum tentu ”mampu”.
Anda boleh punya semuanya. Namun, satu hal yang Anda belum tentu punya adalah rasa ”malu”.


Dari Kompas, Sabtu 22 November 2008

Politika 15 November 2008 - Piknik Politik di "Kota Angin"

Budiarto Shambazy

Setelah memeriksa visa bertuliskan ”To Cover US Presidential Election”, Butman di imigrasi Bandara O’Hare tersenyum. ”Menurut Anda siapa yang menang?”
Saya balas senyum atas pertanyaan dia. ”Saya pendukung Clinton. Tetapi, menurut saya ’dia’ menang,” kata perempuan berkulit bak salju itu.
”’Dia’ (that one)...,” ujar John McCain sambil mengarahkan jempol ke Barack Obama tanpa menoleh dalam debat capres. Ia melecehkan Obama, yang justru menyapa McCain dengan ”John”.
Setelah mendarat 1 November itu, saya mengelilingi ”Kota Angin” (”Windy City”). Suasana Halloween, kampanye pilpres, dan krismon terasa kental.
Jumlah ”setan” Halloween di pekarangan jauh lebih sedikit dibandingkan reklame rumah dijual murah akibat foreclosure. Tak ada poster McCain—apalagi Sarah Palin—di kandang dia.
Sopir taksi, penumpang kereta, pengemis, pejalan kaki, dan wartawan yakin ”dia” menang. Hasil survei early voting 30 juta pemilih membuktikan dia unggul 2:1.
”Obamamania” melanda kota ketiga terbesar AS yang berpenduduk 2,9 juta jiwa itu, terutama di Grant Park yang luasnya 300 hektar. Manusia tiap jam tak henti menyemut menunggu Election Night.
Warga lokal, nasional, dan internasional mengobral senyum. Warga berduyun di sepanjang North-South Michigan Avenue yang membelah Sungai Chicago dan jadi beranda depan Grant Park.
Senyum itu simbol harapan dan kebanggaan warga Chicago terhadap dia. Terakhir kali dua presiden asal Chicago, Abraham Lincoln (1861-1865) dan Ulysses Grant (1869-1877).
Alam pun berpihak kepada dia. Terik matahari ”Indian Summer” yang suka datang tanpa diundang pada musim gugur itu telah mengusir jauh-jauh ancaman serbuan angin kutub utara yang menusuk tulang.
Reli Election Night resmi dimulai pukul 20.30, tetapi warga membeludak setelah berakhirnya jam kerja. Empat dari lima orang memakai kaus, topi, kemeja, jaket, atau pin bergambar dia.
Sebagian ”menduduki” kaki lima berpidato, bersorak-sorai, atau bernyanyi. Tak sedikit menyetel lagu ”Yes We Can” karya Will.I.Am.
Sekitar pukul 20.30 hadirin sudah tahu exit polls mengindikasikan dia menang mutlak. Namun, klimaksnya dua jam kemudian saat monitor raksasa mengumumkan kemenangan dia.
Telinga tak mampu menampung derasnya gelombang suara bagai letupan bom bertalu-talu. Tak sedikit menjerit histeris, bergulingan bak orang kesetanan, atau berlinang air mata.
Tanpa komando, seperempat juta orang meneriakkan yel ”Yes We Can!” tiada henti. Sorot mata, kamera, dan lampu tertuju ke panggung yang terang benderang menunggu dia datang.
Saat dia muncul bersama Michelle, Malia, dan Sasha, suhu Chicago yang malam itu 22 derajat celsius seperti dibakar musim panas. Mustahil mendengar suara sendiri atau bergerak karena impitan massa.
”Halo Chicago...,” kata dia. ”Saya takkan pernah melupakan siapa yang layak menikmati kemenangan ini. Ini milik Anda semua...,” kata dia, yang di Konvensi Nasional Demokrat 2004 memperkenalkan diri ”bocah kurus dengan nama aneh”.
”Jalan ke depan masih panjang. Tebing yang kita daki makin curam. Kita belum sampai tujuan dalam setahun atau satu masa jabatan. Namun, Amerika, harapan saya tak sebesar malam ini agar sampai ke tujuan. Saya berjanji kepada Anda, kita sebagai bangsa akan sampai ke tujuan. Amerika, kita sudah menempuh perjalanan panjang. Kita telah menyaksikan banyak hal. Tetapi, masih banyak yang bisa dilakukan.”
”Malam ini kita bertanya: jika anak-anak memasuki abad mendatang, perubahan apa yang mereka saksikan? Kemajuan apa yang kita hasilkan? Inilah kesempatan kita menjawabnya.”
”Ini saatnya membuka pintu bagi anak-anak memulihkan kesejahteraan dan mencapai perdamaian merebut kembali mimpi Amerika dan menegaskan kebenaran paling hakiki bahwa kita satu, kita tetap berharap selama masih bernapas.”
”Saat kita menghadapi mereka yang ragu, kita jawab dengan rasa yakin yang mencerminkan semangat bangsa: Yes, We Can!”
Cerita selebihnya Anda tahu. Esok pagi saya, sebelum ketinggalan, cepat-cepat antre barang termahal hari itu: Chicago Sun Times dan Chicago Tribune.
Tiras edisi hari itu sold-out sehingga kedua koran terbesar itu menerbitkan replika halaman depan seharga 60 sampai 100 dollar AS. Harga edisi asli bisa dua kali lipat.
Tanggal 4 November sejarah mencatat AS memelopori kebinekaan yang hakiki. Mungkinkah kulit hitam menjadi perdana menteri Inggris, presiden Perancis, atau kanselir Jerman 100 tahun lagi?
Mungkinkah minoritas di sini menjadi presiden 1.000 tahun lagi? Dia di The Audacity of Hope menulis, ”Indonesia terasa jauh dibandingkan 30 tahun lalu. Saya takut ia jadi tanah yang asing.”
Dia memicu ”revolusi damai”. Grant Park piknik politik semua umur, kalangan, warna kulit, agama, kelamin, lengkap dengan sosis hamburger dan cokelat panas.
Saya terkenang lagu ”Saturday in the Park” karya Chicago yang top di sini tahun 1970-an.
”Saturday in the park, you’d think it was the Fourth of July/People talking, really smiling”.
”Will you help him change the world, can you dig it?/Yes I can and Ive been waiting such a long time for today”.
”People reaching, people touching/A real celebration waiting for us all....”
Baca juga ”Chicago, 4 November 2008” di http://kompasiana.com


Dari Kompas, Sabtu 15 November 2008

Politika 1 November 2008 - Itulah Indonesia!

Budiarto Shambazy

Koran dwimingguan Sun News di Santa Fe (New Mexico) edisi 28 Oktober memuat judul ”Obama Wins!” di halaman depan. Tak ada teks, cuma judul itu plus foto Barack Obama dengan giginya yang kayak Chiclets itu sehalaman.
Kok nekat? ”Tiap orang ingin jadi yang pertama mengumumkan pemenang pilpres. Kami mencatat rekor itu,” kata pengumuman koran bertiras 10.000 eksemplar itu.
Lain lagi ulah lima koran di Ohio, Florida, dan Nevada. Mereka menjual koran dengan sisipan 1,25 juta keping DVD durasi 95 menit berisi kampanye negatif terhadap Obama.
DVD ”Hype: The Obama Effect” menayangkan wawancara dengan tokoh konservatif, seperti wartawan Robert Novak, mantan capres Mike Huckabee, dan bekas konsultan Bill Clinton, Dick Morris. Biaya pembuatannya sejuta dollar AS.
Tiras koran di Amerika Serikat turun 4-6 persen akibat pengaruh media internet. Kelompok Time yang terdiri dari 24 majalah memecat 600 karyawan, harian Christian Science Monitor stop terbit dan konsentrasi ke online.
Untuk meningkatkan tiras, Sun News dan lima koran itu memanfaatkan pilpres secara sensasional. Sistem pers libertarian tak menabukan dukungan—juga penolakan—terhadap Obama atau John McCain.
Sampai pekan lalu tercatat hampir 200 media mendukung Obama, lebih dari 40 mendukung McCain. Ingat, hampir 100 persen media tak berafiliasi ke Demokrat atau Republik.
Biasanya yang pro-Demokrat pers liberal, orientasi politik orisinal warisan Eropa yang terkandung dalam konstitusi 1776. Pers konservatif pro-Republik berbeda 180 derajat karena karakternya puritan.
Pers tak wajib mempraktikkan tabula rasa karena keberpihakan politik perlu. Namun, keberpihakan itu bukan kayak penggemar sepak bola fanatik yang maunya menang melulu dan kalau kalah bikin rusuh.
Justru pers AS menerapkan prinsip ”bebas dan bertanggung jawab”. Contohnya, pembelaan terhadap Obama yang jadi korban kampanye negatif norak dan bertalu-talu.
Prinsip ”bebas” dimaknai dengan keleluasaan pers membongkar latar belakang, prestasi, kegagalan, pemahaman, dan rencana setiap capres. Semuanya bermuara pada satu hal: karakter.
Nah, mengukur karakter bukan pekerjaan sukar karena ”rekaman” tiap capres tercatat rapi. Jika Obama atau McCain punya karakter sebagai tukang ngibul, gampang melacaknya.
Anda datang ke polisi mencari data kejahatan yang pernah mereka lakukan. Itu sebabnya, Clinton sebelum menjadi capres mengaku pernah mengisap ganja dan Obama menikmati kokain.
Berbeda dengan George W Bush yang menyembunyikan tabiat doyan mabuk yang akhirnya ketahuan menjadi skandal. Tak heran ia dicap pembual, termasuk mengarang cerita senjata pemusnah massal di Irak.
Itu sebabnya mayoritas media tak mendukung Bush pada Pilpres 2004. Mereka ”bertanggung jawab” dengan menyarankan publik jangan memilih Bush lagi.
Bahwa Bush menang lagi, itu soal lain. Pers hanya berusaha memengaruhi—bukan mendikte—opini publik yang dalam dunia bisnis dikenal dengan selera pasar.
Mustahil mengubah selera pasar. Ambil contoh selera pasar otomotif di sini yang gemar bertanya, ”Bensinnya satu berapa?” atau, ”Resale value-nya tinggi enggak?”
Padahal, rasio pemakaian BBM per kilometer tiap mobil beda-beda tipis. Uniknya, mobil belum dipakai, tetapi sang pasar sudah mikir mau menjualnya.
Pasar senang dimanja aneka aksesori yang kurang penting macam cup holder atau face lift. Harga mahal enggak apa-apa asalkan gaya.
Pasar kurang peduli dengan prinsip value for money, pengembangan mesin, atau keamanan. Mobil berkualitas yang harganya lebih murah belum tentu disukai pasar.
Begitu juga dengan politik capres yang marak belakangan ini. Entah mengapa, selera pasar makin sukar diprediksi karena berbagai faktor.
Persaingan capres di mana pun selalu dalam bilangan pekan dan bulan. Obama saja masih mungkin terpeleset andai salah ucap 1-2 kalimat pada hari-hari sebelum 4 November.
Faktor yang amat memengaruhi selera pasar capres di sini perilaku pemilih. Menjawab teka-teki ini mudah: dengarkan hit akhir 1960-an, ”Berikan Daku Harapan” yang dilantunkan Tuti Subardjo.
”Berikan daku harapan/Ku jadikan kenangan”. Tak ada manfaatnya capres menawarkan harapan karena pasar, apa pun alasannya, memperlakukan capres jadi bahan nostalgia doang.
Iba melihat presiden sejak tahun 1998 karena selalu mengecewakan pasar walau kerja mati- matian. Soalnya pasar hanya percaya sebuah teori: presiden sebelumnya lebih baik daripada yang sekarang.
Buktinya, Bung Karno yang berjasa besar dihujat habis, Pak Harto dipuja-puja. Reformasi menjungkalkan Pak Harto, the king is dead and long live the king!
Datang era Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, dan SBY-JK. Eh, ternyata hidup lebih enak di zaman Pak Harto!
Nah, yang ”mati konyol” kami wartawan. Mau berpihak kebenaran dicurigai ”main mata”, mau berbicara apa adanya ada yang ”tak terima”, mau mengkritik digalaki ”apa maksudnya?”
Lebih mati konyol lagi pers dikungkung UU yang mengancam pencabutan SIUPP jika dianggap tak adil memberitakan kampanye. Lha, apa yang mau dicabut kalau SIUPP enggak berlaku lagi?
Fenomena gaib ini di AS diledek, ”Only in America....” Di sini, mengutip lirik sebuah lagu perjuangan, ”Itulah Indonesia!”

Dari Kompas, Sabtu 1 November 2008

Politika 25 Oktober 2008 - "Powell Power"

Budiarto Shambazy

Jenderal purnawirawan mana pun bisa belajar dari Colin Powell, mantan Menlu/ Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat. Ia mendukung capres dari Partai Demokrat, Barack Obama, meski masuk kabinet pemerintahan Presiden George W Bush.
Ia mengkritik isi kampanye rekan sesama mantan militer yang kebetulan capres dari Partai Republik, John McCain. Ia membedakan antara sosok McCain dengan Republik dan juga dengan cawapres Sarah Palin.
Betapapun McCain prajurit tangguh yang bertahun-tahun disiksa di ”Hanoi Hilton” saat Perang Vietnam. Powell tak suka kampanye kubu McCain-Palin yang melancarkan kampanye negatif, yang menuding Obama penganut Islam.
Padahal, Obama penganut Kristen yang terbilang religius. Lebih dari itu, Powell menegaskan, kalaupun Obama seorang Muslim, bangsa AS hendaknya menghargai kebhinnekaan sehingga siapa pun berhak menjadi capres.
Powell tak apolitis walau dunia kesehariannya jauh dari ingar-bingar politik. Ia penyumbang rutin dana kampanye Republik, tetapi jumlahnya ratusan dollar AS saja.
Soalnya ia bukan pebisnis, hidup cuma dari pensiunan. Ia lebih betah memperbaiki sendiri Volvo buatan tahun 1960-an yang suka mogok ketimbang membeli Hummer atau Cadillac.
Masih segar dalam ingatan, Powell menyarankan Presiden George HW Bush menarik pasukan AS dari Irak pada Perang Teluk I pada awal tahun 1990-an. Namun, ia tak berdaya menghadapi nafsu perang Presiden George W Bush.
Pada sidang Dewan Keamanan PBB di New York, Powell dipaksa mengarang fiksi tentang senjata pemusnah massal Saddam Hussein. Agar meyakinkan, disiapkanlah ratusan lembar presentasi berikut multimedia yang canggih.
Sebelum bersandiwara, Powell marah besar. Ia merobeki dan melempari kertas-kertas presentasi itu ke hampir semua muka ”tim pembohong” sembari menyumpah serapah.
Dari awal ia yakin senjata pemusnah massal Saddam tak pernah ada. Keteguhan sikapnya ini yang membuat Powell tersingkir dari lingkar dalam Presiden Bush. Powell pernah mengungkapkan rasa herannya terhadap para pejabat di sekeliling Presiden Bush yang merasa lebih pandai dalam soal-soal militer. Padahal, mereka mungkin enggak pernah memegang pistol.
Itu orang-orang kayak Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, atau Karl Rove. Teori-teori strategi pertahanan para lulusan universitas terkemuka itu muluk walau nyaris tak mengandung kebenaran sahih.
Nah, ketika mengumumkan dukungannya, Powell mengaku butuh waktu berbulan-bulan untuk merenung. Sekitar medio September ia mengaku kepada para mahasiswanya bahwa hatinya terbelah.
Namun, setelah menyaksikan debat capres, ia memutuskan mendukung Obama. Keputusan itu menjadi berita besar karena ditunggu-tunggu rakyat yang menghormati sosok Powell.
Pengumuman dilontarkan Powell dalam acara bergengsi NBC, ”Meet the Press” edisi 19 Oktober. Sebelum ”menjatuhkan vonis” ia mengingatkan sudah berteman dengan McCain 25 tahun dan baru kenal Obama dua tahun terakhir.
Kenapa terpincut wajah baru dengan mengorbankan kawan lama? ”Obama memperlihatkan kesiapan, keingintahuan intelektual, pengetahuan mendalam, dan pendekatan untuk menyelesaikan masalah,” ujar Powell.
Selama tahun ini, Obama menjadi korban smear and fear kaum puritan Republik. Namun, ia ogah menempatkan diri sebagai victim untuk memanipulasi posisinya agar dikasihani publik.
Pernah ada kejadian ganjil saat media internasional berbondong-bondong ke SD Besuki, Menteng, Jakarta. Rasa ingin tahu muncul karena tiba-tiba menyeruak isu Obama pernah bersekolah di ”madrasah”.
Orang-orang puritan langsung mengaitkan nama ”Barack” sebagai salah satu pertanda keislaman Obama. Anda tahu bagaimana nama tengah dia, ”Hussein” sering diasosiasikan dengan Saddam.
Bahkan, dalam beberapa kali kampanye duet ”Obama-Biden” dipelesetkan jadi ”Obama bin Baden”. Dan, beberapa hari lalu muncul, ”berita eksklusif” yang menyebut dukungan Al Qaeda terhadap McCain.
Kantor berita AP menyebutkan, kelompok teroris itu menyambut gembira jika terjadi serangan teroris sebelum 4 November. Serangan itu akan membuat rakyat AS khawatir dan pindah haluan ke McCain.
Presiden McCain lebih baik karena melanjutkan petualangan di Irak dan Afganistan. ”Al Qaeda harus mendukung McCain agar melanjutkan kepemimpinan Bush yang gagal,” kata pernyataan mereka menurut SITE Intelligence Group di Maryland.
Empat hari sebelum 4 November 2004, Osama bin Laden muncul melalui rekaman video mengancam rakyat AS. Bush terpilih lagi sebagai presiden 2004-2008.
Tak mengherankan kubu Obama sampai saat ini menampik permintaan wawancara dari media non-AS, apalagi dari pers negara-negara Islam. Mereka berprinsip lebih baik tiarap dulu daripada jadi sasaran tembak.
Selama dua pekan terakhir, Obama mulai dicitrakan sebagai sosialis-komunis, termasuk oleh Palin. Waktu pers meminta penjelasan masuk akal, Palin yang pandir menjawab, ”Ya, pokoknya begitulah”.
Nah, untunglah ada Powell power. Ini bukan superpower, Palin power, atau soft power yang suka dibangga-banggakan beberapa pejabat kita.
Saya curiga McCain sudah merasa no power alias siap-siap mengibarkan bendera putih. Ia tahu tradisi militer tak cuma mengajarkan cara memenangi perang, tetapi secara jantan juga siap mengaku kalah.


Dari Kompas, Sabtu 25 Oktober 2008

Politika 18 Oktober 2008 - Kalau OBAMA Terkalahkan

Budiarto Shambazy

Biasanya kampanye negatif dilancarkan oleh presiden yang sedang berkuasa. Seperti pemulung, ia mulai menggali tong sampah masa lalu calon-calon presiden pesaingnya.
Salah sendiri kenapa selama memerintah enggak berbuat apa-apa. Ia menyia-nyiakan waktu, tenaga, dan biaya alias keseringan ngelamun saja.
Ibarat orang kaya baru (OKB) ia hidup boros menghabiskan tabungannya. Ia tiba-tiba siuman setelah 4-5 tahun pingsan dan gagal memenuhi janji-janjinya.
Kampanye negatif bermakna sekumpulan fakta yang tidak penting, yang didramatisasi, dibumbui, dan disajikan ”lebih indah dari warna aslinya”. Fakta- fakta itu bahkan sering dimanipulasi menjadi fitnah.
Ilmu kampanye negatif tak ubahnya seni merangkai bunga. Biasanya ahli-ahli kampanye negatif berlatar belakang intelijen yang, maaf, mempunyai tingkat inteligensia yang rendah.
Operasi mereka diorganisasikan langsung oleh sang presiden yang kepepet tadi dengan bantuan orang-orang lingkar satu di sekitarnya. Tentu saja partai politik si presidenlah yang menyediakan dana.
Presiden yang kepepet itu memanfaatkan pula birokrasi peme-rintahannya. Ia memaksa pula seluruh jajaran aparat keamanan agar ikut membantu kampanye negatifnya.
Dasar presiden lagi kepepet, ia biasanya memenangi pilpres juga melalui cara-cara yang sama. Jangan lupa pula, presiden yang kepepet itu punya tabiat buruk, yakni rela mengadu domba bangsa sehingga terpecah belah.
Ia sebenarnya paham praktik kampanye negatif berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara. Namun, ia tak peduli terjadi pertumpahan darah cuma demi melanggengkan kekuasaannya.
Sejarah membuktikan tidak sedikit presiden yang kayak gini yang pernah berkuasa di mancanegara. Mereka jelas tidak seperti Bung Karno, presiden pertama kita yang rela tenggelam demi mencegah berkecamuknya perang saudara.
Bung Karno tidak hanya menjadi korban kampanye negatif, jasa-jasa positifnya pun disetip dari buku-buku sejarah. Oleh Orde Baru, para pengikut setia dia dikucilkan, ditangkapi, disiksa, bahkan dilenyapkan nyawanya.
Mereka dicap golongan kiri atau kaum Soekarnois yang mesti dijauhi ibarat penderita penyakit kusta. Sebagian dari mereka bahkan dikategorikan sebagai komunis, satu-satunya musuh khayalan hasil karangan pemerintah.
Mereka bukan lagi sekadar menjadi korban kampanye negatif, tetapi disapu topan badai kampanye hitam yang diberlakukan sepanjang masa. Berbeda dengan kampanye negatif, kampanye hitam sama sekali tidak berdasarkan fakta-fakta.
Sesuai dengan namanya, warna hitam telanjur identik dengan kebengisan perbudakan yang dialami rakyat miskin dari Afrika. Padahal, kita di sini mengenal metafora ”gadis hitam manis” yang difavoritkan sebagian pria.
Lelaki ganteng berkulit coklat berambut hitam yang berkunjung ke Amerika Serikat (AS) atau Eropa bisa dipandang sebelah mata. Namun, perempuan bule dengan rambut hitam terjurai malah diperlakukan bagai bidadari nan cantik jelita.
Nah, lebih kurang perlakuan diskriminatif semacam itulah yang kini dialami Barack Obama. Ia capres Demokrat yang diunggulkan akan memenangi pilpres untuk memimpin satu-satunya negara adidaya.
”Kemustahilan” ini telah menimbulkan keresahan pada segelintir politisi, tokoh, dan pemimpin puritan Republik yang delapan tahun terakhir berkuasa semena-mena. Bukannya bertobat, mereka belum rela kehilangan kuasa.
Perang terhadap terorisme gagal total, Osama bin Laden masih buron, Irak makin berantakan, dan krismon di AS mengganggu perekonomian dunia. Jangankan kita, mayoritas rakyat di AS saja sudah amat gerah.
Untuk memenangi John McCain, mesin politik Republik makin gencar melancarkan kampanye negatif terhadap Obama. Ratusan ribu rakyat ditelepon dihasut perkara hubungan Obama dengan teroris yang pada tahun 1960-an mengebom gedung pemerintah.
Belakangan ini kampanye McCain-Sarah Palin makin sering dihiasi oleh ejekan-ejekan tak lucu yang dilontarkan kepada Obama. Ia diteriaki sebagai teroris, Arab, komunis, sosialis, liberal, bahkan bukan manusia.
Ya, segelintir pendukung McCain-Palin membawa boneka- boneka kera hitam berkaus dan topi dengan huruf Obama. Tabiat norak ini tak ubahnya penonton liga Spanyol yang menghina pemain hitam dengan meniru gerakan serta suara kera.
Kubu kampanye McCain-Palin membiarkan saja. Itu sebabnya persentase dukungan rakyat terhadap McCain-Palin semakin hari semakin rendah.
Salah satu pihak yang marah adalah media massa. Sebagian koran besar, termasuk The Washington Post dan Chicago Tribune, telah menerbitkan tajuk rencana yang mendukung Obama.
Mereka tak peduli pada warna kulit, latar belakang keluarga, ras, etnis, agama, dan masa lalu Obama. Sebentar lagi mayoritas media massa menjatuhkan pilihan kepadanya untuk memulai kulit hitam pemimpin negeri adidaya.
Namun, apa yang terjadi kalau Obama akhirnya terkalahkan? Mungkin ada sebagian bangsa mendemo kedutaan-kedutaan AS di manca-negara menumpahkan kesalahan pada kampanye negatif kaum puritan.
Untuk pertama kalinya urusan dalam negeri AS dicampuri negara-negara lain. Padahal, Washington punya reputasi sebagai negara besar yang gemar mengatur napas orang lain.
”Oh, yang kepilih McCain-Palin? Ah, emangnya gua pikirin,” begitu saya membatin.


Kompas : Kompas, Sabtu 18 Oktober 2008

Politika 14 Oktober 2008 - Negeri Ironi

Budiarto Shambazy

Ada ironi yang membuat saya kagok. Pertama, mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 2008.
Anugerah diberikan berkat jasanya sebagai penengah perundingan perdamaian RI-GAM. Ia giat menjadi mediator konflik di mancanegara, tetapi prestasinya di Aceh menonjol.
Nobel Perdamaian 1996 dianugerahkan kepada Uskup CFX Belo dan pemimpin Fretilin Jose Ramos Horta. Saat itu Belo dan Horta memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur.
Nah, inilah ironi yang membuat kagok. Sebab, seharusnya saya senang nama negara ini harum ke seantero dunia berkat anugerah Nobel Perdamaian.
Apa lacur, hadiah paling bergengsi sejagat itu direbut orang asing—kecuali Uskup Belo yang kala itu warga Indonesia. Uskup Belo pun sudah ganti paspor setelah Timor Timur merdeka.
Padahal, tak sedikit warga sedih Timor Timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Pasti juga banyak yang sempat sebal perundingan perdamaian di Aceh dicampuri pihak asing.
Namun, di lain pihak saya mafhum ironi ini terjadi karena ulah penguasa yang menginjak- injak HAM bangsanya sendiri. Dan, Nobel Perdamaian menunjukkan rekor HAM penguasa terpuruk di bawah dua rezim brutal, Myanmar dan Afrika Selatan (Afsel).
Rezim militer Myanmar paling tidak masih bangga Nobel Perdamaian 1991 diberikan kepada warganya sendiri yang bernama Aung San Suu Kyi. Ia tokoh oposisi yang (tak seperti Belo) tidak ganti paspor dan (tak seperti Horta) ogah tinggal di luar negeri.
Atau bandingkan dengan rezim Afsel yang tetap dihargai walau mempraktikkan politik apartheid yang rasialistis. Sebab, Nobel Perdamaian 1993 tak cuma diberikan kepada Nelson Mandela, tetapi juga kepada Presiden Afsel FW De Klerk.
Saya akan lebih kagok kalau Nobel Sastra diberikan kepada Pramoedya Ananta Toer saat masih hidup. Sebab, ia tapol yang menulis karya tetralogi yang masyhur itu saat diasingkan ke Pulau Buru.
Ironisnya, tetralogi itu pernah dilarang terbit di sini. Padahal, ia menjadi bahan bacaan wajib perguruan tinggi di mancanegara.
Ironi lain menyangkut krismon yang mengguncang ekonomi global. Krismon yang berawal dari foreclosure (ketidakmampuan warga mencicil bunga kredit rumah) di Amerika Serikat menjalar ke Eropa dan Asia.
Bursa terguncang, pasar kredit mandek, perbankan ikut kena getahnya. Jika dana talangan 700-800 miliar dollar AS yang digelontorkan Pemerintah AS gagal menyembuhkan krismon, ekonomi global kena depresi.
Mari mengilas balik krismon 10 tahun lalu. Salah satu akibatnya Soeharto lengser ing keprabon Mei 1998 menyusul terjadinya kerusuhan yang membumihanguskan Jakarta.
Soeharto berupaya menyelamatkan ekonomi yang anjlok akibat runtuhnya nilai tukar rupiah dan rontoknya sektor perbankan. Salah satu langkah Soeharto adalah mencoba mematuhi resep penyelamatan IMF.
Selain merundingkan nota kesepakatan dengan IMF, Soeharto memprakarsai gerakan cinta rupiah, mengajak warga mengencangkan ikat pinggang, mengocok ulang kabinet, dan sebagainya. Setelah dikhianati sejumlah menteri, Soeharto menyerah.
Di senja kala kekuasaannya, Soeharto masih punya sense of crisis, apalagi fundamental ekonomi rapuh sehingga krismon di sini tak cepat pulih seperti di Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia.
Sampai kini dampak krismon tetap terasa, antara lain dari nilai tukar rupiah yang belum turun sampai di bawah Rp 5.000 per dollar AS seperti sebelum krismon. Jumlah rakyat miskin dan penganggur bertambah.
Entah berapa puluh buku yang menelaah krismon yang diterbitkan, baik di dalam maupun di luar negeri. Pengalaman buruk krismon itu mestinya menghasilkan generasi pejabat/politisi yang layak bergelar ”pakar krismon”.
Namun, kenyataannya berbeda. Entah mengapa, krismon 1998 secara psikologis gagal menimbulkan efek traumatis pada diri tiap pejabat/politisi.
Pernyataan pejabat terkonsentrasi pada yang terjadi di pasar saham saja. Ada yang bilang bursa jangan ditutup, ada yang menyarankan di-suspend, ada yang berteori perlunya buy back, bahkan ada yang memancing di air keruh.
Terdapat kesan ekonomi hanya di bursa saham semata-mata. Padahal, dagang saham yang mirip perjudian itu cuma melibatkan kepentingan segelintir orang.
Tak ada pernyataan yang membumi, paling ”rakyat tak usah panik”. Ibaratnya, tak ada yang menjulurkan tali walau rakyat sudah nyaris masuk jurang.
Tak terdengar nasihat tentang, misalnya, bagaimana rakyat menyiapkan diri menghadapi kondisi perbankan. Padahal, banyak PRT panik ingin segera mencairkan tabungannya yang pas-pasan.
Lain lagi capres, cawapres, dan politisi yang mau meramaikan pesta demokrasi 2009. Krismon global dan berbagai dampaknya sesungguhnya tema menarik untuk kampanye yang sudah dimulai Juli lalu.
Namun, mereka bungkam seribu bahasa. Oh, mungkin sibuk dagang sapi sembari dagang saham, ya?
Di kala ekonomi global gonjang-ganjing, yang mereka ributkan cuma soal sepele, seperti ketua MK mundur, pembatasan usia pensiun hakim agung, atau undang-undang pemerintahan Yogyakarta. Memangnya rakyat peduli?
Itulah Negeri Ironi yang bermuka dua. Ia persis kayak simbol drama: yang satu wajah rakyat sedang menangis, yang satu wajah penguasa yang sedang tertawa.


Dari : Kompas, Selasa 14 Oktober 2008

Politika 11 Oktober 2008 - Lemas, Mulas, Melas

Budiarto Shambazy

Kaget mendengar komentar Kepala Koresponden Nasional CNN John King setelah debat John McCain versus Barack Obama pada 7 Oktober. Ia bilang game over untuk McCain, Obama pasti menang.
Obama menang karena dinilai mampu memperbaiki kondisi ekonomi yang membuat khawatir sekitar 60 persen pemilih. Bandingkan dengan angka sekitar 40 persen saat Bill Clinton menang tahun 1992.
Tak sedikit pakar sudah meramal kemenangan Obama. Yahoo! News dan The Washington Post bahkan menyajikan statistik yang too good to be true.
Mereka meramal Obama menggaet lebih dari 300 suara anggota Dewan Pemilih (Electoral College). Padahal, ambang batas kemenangan hanya 270.
McCain dikira akan menang mudah karena menguasai format town hall meeting. Berdasarkan sejumlah survei ia kalah lagi.
Survei Gallup 10 Oktober membuktikan keunggulan dua digit Obama, 52 berbanding 41 persen. McCain masih sukar menghindari citra sebagai bagian dari rezim Presiden George W Bush.
Popularitas Bush kini mencapai titik terendah 27 persen. Sejumlah kalangan, antara lain mantan Presiden Jimmy Carter, menyebut Bush presiden terburuk dalam sejarah.
Sebagai ilustrasi, DPRD di dua kota Negara Bagian Vermont dua tahun lalu menyepakati undang-undang yang memerintahkan polisi menangkap Bush si pelanggar konstitusi. Sampai kini Presiden Bush tak berani mengunjungi Vermont!
Mungkin karena frustrasi McCain-Sarah Palin mulai melancarkan kampanye negatif. Beberapa hari ini pertemanan Obama dengan tokoh teroris William Ayers dijadikan tema kampanye.
Sekitar tahun 1960 Ayers menyebar terorisme di Chicago memprotes keterlibatan Amerika Serikat di Vietnam. Mereka mengebom gedung-gedung pemerintah dan menyerang aparat.
Saat itu Obama berusia delapan tahun. Namun, tahun 1995 Ayers sebagai aktivis sosial ikut membantu upaya Obama terpilih sebagai senator di Illinois.
Berdasarkan cerita itu, Palin membuka serangan. Mungkin karena emosi, ada pendukung berteriak lantang, ”Bunuh dia (Obama)!”
Dalam kampanye lain, kepala polisi provokator di podium menyebut Barack Hussein Obama—padahal aparat harus netral. Ada yang berteriak lagi, ”Dia (Obama) teroris!”
Dalam kampanye, Palin nekat bilang Obama ”bukan salah satu dari kita”. Kalimat itu bisa diinterpretasikan kulit hitam yang belum layak memimpin mayoritas kulit putih.
Akhirnya hal yang paling mengkhawatirkan terjadi juga, yakni dimainkannnya ”kartu ras”. Warna kulit, nama tengah, latar belakang keluarga, dan masa lalu Obama diutak-atik.
Ia dicurigai masuk Islam ketika sekolah di ”madrasah” Jakarta. Padahal, ia sekolah di SD negeri di Jalan Besuki yang sekuler dan sebelumnya di SD Katolik, Assisi.
Tuduhan ia ”berteman dengan teroris” ganjil karena keluarga besar Bush berbisnis dengan keluarga besar Bin Laden. Presiden George HW Bush mengutus Donald Rumsfeld menemui Presiden Irak Saddam Hussein.
Kampanye negatif, paling tidak menurut Hillary Clinton, ”konspirasi sayap kanan” Republik. Walau kurang etis, cara ini lumrah di AS.
Cara ini mudah dan murah. Namun, sekali lagi, apakah ia efektif saat AS mengalami krisis moneter yang skalanya diramalkan menyamai Depresi Besar sekitar awal tahun 1930?
Seperti di banyak negara, hubungan antar-kulit atau etnis di AS masih bermasalah. Walau di permukaan tak tampak, ketegangan sering terjadi—termasuk di kampanye pilpres.
Michael Dukakis kalah tahun 1988 dari George HW Bush karena perlakuan istimewa yang dinikmati Willie Horton, narapidana hitam. Kebetulan perlakuan itu ditandatangani Dukakis saat menjadi Gubernur Massachusetts.
Akibatnya, sebagian suara putih pindah ke George HW Bush. Contoh lain ”efek Bradley”, merujuk ke Tom Bradley, calon hitam yang di luar dugaan dikalahkan calon putih, George Deukmejian, di pilgub California 1982.
Saat disurvei, sebagian putih mengaku belum tahu memilih siapa, sebagian condong ke Bradley. Beberapa hari sebelum ”hari-H”, berbagai survei membuktikan Bradley menang.
Tetapi, Bradley kalah karena ada 5-6 persen pemilih putih ”berbohong” saat disurvei. Mereka berbohong karena takut disebut antihitam, tetapi diam- diam masih menyimpan prasangka rasial.
Angka 5-6 persen ini yang, bukan mustahil, bisa dijadikan sebagai patokan. Artinya, Obama mesti unggul dua digit di berbagai jajak pendapat agar tidak kena wabah penyakit prasangka rasial itu.
Hasil survei pilpres tak pernah meleset kecuali tahun 1960 saat John F Kennedy mengalahkan Richard Nixon. Ketidakakuratan itu pun masih dianggap wajar karena perbedaan popular votes saat itu sedikit sekali.
Jika tak ada ”faktor X”, Obama dianggap mampu mempertahankan keunggulannya kecuali ia, misalnya terperosok saat debat ketiga, 15 Oktober. Namun, tetap saja debat bukan penentu kemenangan/kekalahan.
Al Gore menang debat 3-0 tahun 2000, John Kerry juga menang 3-0 empat tahun kemudian. Tetapi, Bush yang terpilih menjadi presiden.
Saya takkan bisa lupa ”kejutan Oktober” di Washington DC empat tahun silam. Cuma beberapa hari sebelum pilpres, video rekaman Osama bin Laden tiba-tiba muncul lagi di televisi.
Tidak sedikit pendukung Kerry yang dengkulnya langsung lemas, perutnya mendadak mulas, dan merasa nasibnya melas.


Dari : Kompas, Sabtu 11 Oktober 2008