Sabtu, 22 November 2008

Politika 11 Oktober 2008 - Lemas, Mulas, Melas

Budiarto Shambazy

Kaget mendengar komentar Kepala Koresponden Nasional CNN John King setelah debat John McCain versus Barack Obama pada 7 Oktober. Ia bilang game over untuk McCain, Obama pasti menang.
Obama menang karena dinilai mampu memperbaiki kondisi ekonomi yang membuat khawatir sekitar 60 persen pemilih. Bandingkan dengan angka sekitar 40 persen saat Bill Clinton menang tahun 1992.
Tak sedikit pakar sudah meramal kemenangan Obama. Yahoo! News dan The Washington Post bahkan menyajikan statistik yang too good to be true.
Mereka meramal Obama menggaet lebih dari 300 suara anggota Dewan Pemilih (Electoral College). Padahal, ambang batas kemenangan hanya 270.
McCain dikira akan menang mudah karena menguasai format town hall meeting. Berdasarkan sejumlah survei ia kalah lagi.
Survei Gallup 10 Oktober membuktikan keunggulan dua digit Obama, 52 berbanding 41 persen. McCain masih sukar menghindari citra sebagai bagian dari rezim Presiden George W Bush.
Popularitas Bush kini mencapai titik terendah 27 persen. Sejumlah kalangan, antara lain mantan Presiden Jimmy Carter, menyebut Bush presiden terburuk dalam sejarah.
Sebagai ilustrasi, DPRD di dua kota Negara Bagian Vermont dua tahun lalu menyepakati undang-undang yang memerintahkan polisi menangkap Bush si pelanggar konstitusi. Sampai kini Presiden Bush tak berani mengunjungi Vermont!
Mungkin karena frustrasi McCain-Sarah Palin mulai melancarkan kampanye negatif. Beberapa hari ini pertemanan Obama dengan tokoh teroris William Ayers dijadikan tema kampanye.
Sekitar tahun 1960 Ayers menyebar terorisme di Chicago memprotes keterlibatan Amerika Serikat di Vietnam. Mereka mengebom gedung-gedung pemerintah dan menyerang aparat.
Saat itu Obama berusia delapan tahun. Namun, tahun 1995 Ayers sebagai aktivis sosial ikut membantu upaya Obama terpilih sebagai senator di Illinois.
Berdasarkan cerita itu, Palin membuka serangan. Mungkin karena emosi, ada pendukung berteriak lantang, ”Bunuh dia (Obama)!”
Dalam kampanye lain, kepala polisi provokator di podium menyebut Barack Hussein Obama—padahal aparat harus netral. Ada yang berteriak lagi, ”Dia (Obama) teroris!”
Dalam kampanye, Palin nekat bilang Obama ”bukan salah satu dari kita”. Kalimat itu bisa diinterpretasikan kulit hitam yang belum layak memimpin mayoritas kulit putih.
Akhirnya hal yang paling mengkhawatirkan terjadi juga, yakni dimainkannnya ”kartu ras”. Warna kulit, nama tengah, latar belakang keluarga, dan masa lalu Obama diutak-atik.
Ia dicurigai masuk Islam ketika sekolah di ”madrasah” Jakarta. Padahal, ia sekolah di SD negeri di Jalan Besuki yang sekuler dan sebelumnya di SD Katolik, Assisi.
Tuduhan ia ”berteman dengan teroris” ganjil karena keluarga besar Bush berbisnis dengan keluarga besar Bin Laden. Presiden George HW Bush mengutus Donald Rumsfeld menemui Presiden Irak Saddam Hussein.
Kampanye negatif, paling tidak menurut Hillary Clinton, ”konspirasi sayap kanan” Republik. Walau kurang etis, cara ini lumrah di AS.
Cara ini mudah dan murah. Namun, sekali lagi, apakah ia efektif saat AS mengalami krisis moneter yang skalanya diramalkan menyamai Depresi Besar sekitar awal tahun 1930?
Seperti di banyak negara, hubungan antar-kulit atau etnis di AS masih bermasalah. Walau di permukaan tak tampak, ketegangan sering terjadi—termasuk di kampanye pilpres.
Michael Dukakis kalah tahun 1988 dari George HW Bush karena perlakuan istimewa yang dinikmati Willie Horton, narapidana hitam. Kebetulan perlakuan itu ditandatangani Dukakis saat menjadi Gubernur Massachusetts.
Akibatnya, sebagian suara putih pindah ke George HW Bush. Contoh lain ”efek Bradley”, merujuk ke Tom Bradley, calon hitam yang di luar dugaan dikalahkan calon putih, George Deukmejian, di pilgub California 1982.
Saat disurvei, sebagian putih mengaku belum tahu memilih siapa, sebagian condong ke Bradley. Beberapa hari sebelum ”hari-H”, berbagai survei membuktikan Bradley menang.
Tetapi, Bradley kalah karena ada 5-6 persen pemilih putih ”berbohong” saat disurvei. Mereka berbohong karena takut disebut antihitam, tetapi diam- diam masih menyimpan prasangka rasial.
Angka 5-6 persen ini yang, bukan mustahil, bisa dijadikan sebagai patokan. Artinya, Obama mesti unggul dua digit di berbagai jajak pendapat agar tidak kena wabah penyakit prasangka rasial itu.
Hasil survei pilpres tak pernah meleset kecuali tahun 1960 saat John F Kennedy mengalahkan Richard Nixon. Ketidakakuratan itu pun masih dianggap wajar karena perbedaan popular votes saat itu sedikit sekali.
Jika tak ada ”faktor X”, Obama dianggap mampu mempertahankan keunggulannya kecuali ia, misalnya terperosok saat debat ketiga, 15 Oktober. Namun, tetap saja debat bukan penentu kemenangan/kekalahan.
Al Gore menang debat 3-0 tahun 2000, John Kerry juga menang 3-0 empat tahun kemudian. Tetapi, Bush yang terpilih menjadi presiden.
Saya takkan bisa lupa ”kejutan Oktober” di Washington DC empat tahun silam. Cuma beberapa hari sebelum pilpres, video rekaman Osama bin Laden tiba-tiba muncul lagi di televisi.
Tidak sedikit pendukung Kerry yang dengkulnya langsung lemas, perutnya mendadak mulas, dan merasa nasibnya melas.


Dari : Kompas, Sabtu 11 Oktober 2008

Tidak ada komentar: