Sabtu, 22 November 2008

Politika 14 Oktober 2008 - Negeri Ironi

Budiarto Shambazy

Ada ironi yang membuat saya kagok. Pertama, mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 2008.
Anugerah diberikan berkat jasanya sebagai penengah perundingan perdamaian RI-GAM. Ia giat menjadi mediator konflik di mancanegara, tetapi prestasinya di Aceh menonjol.
Nobel Perdamaian 1996 dianugerahkan kepada Uskup CFX Belo dan pemimpin Fretilin Jose Ramos Horta. Saat itu Belo dan Horta memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur.
Nah, inilah ironi yang membuat kagok. Sebab, seharusnya saya senang nama negara ini harum ke seantero dunia berkat anugerah Nobel Perdamaian.
Apa lacur, hadiah paling bergengsi sejagat itu direbut orang asing—kecuali Uskup Belo yang kala itu warga Indonesia. Uskup Belo pun sudah ganti paspor setelah Timor Timur merdeka.
Padahal, tak sedikit warga sedih Timor Timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Pasti juga banyak yang sempat sebal perundingan perdamaian di Aceh dicampuri pihak asing.
Namun, di lain pihak saya mafhum ironi ini terjadi karena ulah penguasa yang menginjak- injak HAM bangsanya sendiri. Dan, Nobel Perdamaian menunjukkan rekor HAM penguasa terpuruk di bawah dua rezim brutal, Myanmar dan Afrika Selatan (Afsel).
Rezim militer Myanmar paling tidak masih bangga Nobel Perdamaian 1991 diberikan kepada warganya sendiri yang bernama Aung San Suu Kyi. Ia tokoh oposisi yang (tak seperti Belo) tidak ganti paspor dan (tak seperti Horta) ogah tinggal di luar negeri.
Atau bandingkan dengan rezim Afsel yang tetap dihargai walau mempraktikkan politik apartheid yang rasialistis. Sebab, Nobel Perdamaian 1993 tak cuma diberikan kepada Nelson Mandela, tetapi juga kepada Presiden Afsel FW De Klerk.
Saya akan lebih kagok kalau Nobel Sastra diberikan kepada Pramoedya Ananta Toer saat masih hidup. Sebab, ia tapol yang menulis karya tetralogi yang masyhur itu saat diasingkan ke Pulau Buru.
Ironisnya, tetralogi itu pernah dilarang terbit di sini. Padahal, ia menjadi bahan bacaan wajib perguruan tinggi di mancanegara.
Ironi lain menyangkut krismon yang mengguncang ekonomi global. Krismon yang berawal dari foreclosure (ketidakmampuan warga mencicil bunga kredit rumah) di Amerika Serikat menjalar ke Eropa dan Asia.
Bursa terguncang, pasar kredit mandek, perbankan ikut kena getahnya. Jika dana talangan 700-800 miliar dollar AS yang digelontorkan Pemerintah AS gagal menyembuhkan krismon, ekonomi global kena depresi.
Mari mengilas balik krismon 10 tahun lalu. Salah satu akibatnya Soeharto lengser ing keprabon Mei 1998 menyusul terjadinya kerusuhan yang membumihanguskan Jakarta.
Soeharto berupaya menyelamatkan ekonomi yang anjlok akibat runtuhnya nilai tukar rupiah dan rontoknya sektor perbankan. Salah satu langkah Soeharto adalah mencoba mematuhi resep penyelamatan IMF.
Selain merundingkan nota kesepakatan dengan IMF, Soeharto memprakarsai gerakan cinta rupiah, mengajak warga mengencangkan ikat pinggang, mengocok ulang kabinet, dan sebagainya. Setelah dikhianati sejumlah menteri, Soeharto menyerah.
Di senja kala kekuasaannya, Soeharto masih punya sense of crisis, apalagi fundamental ekonomi rapuh sehingga krismon di sini tak cepat pulih seperti di Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia.
Sampai kini dampak krismon tetap terasa, antara lain dari nilai tukar rupiah yang belum turun sampai di bawah Rp 5.000 per dollar AS seperti sebelum krismon. Jumlah rakyat miskin dan penganggur bertambah.
Entah berapa puluh buku yang menelaah krismon yang diterbitkan, baik di dalam maupun di luar negeri. Pengalaman buruk krismon itu mestinya menghasilkan generasi pejabat/politisi yang layak bergelar ”pakar krismon”.
Namun, kenyataannya berbeda. Entah mengapa, krismon 1998 secara psikologis gagal menimbulkan efek traumatis pada diri tiap pejabat/politisi.
Pernyataan pejabat terkonsentrasi pada yang terjadi di pasar saham saja. Ada yang bilang bursa jangan ditutup, ada yang menyarankan di-suspend, ada yang berteori perlunya buy back, bahkan ada yang memancing di air keruh.
Terdapat kesan ekonomi hanya di bursa saham semata-mata. Padahal, dagang saham yang mirip perjudian itu cuma melibatkan kepentingan segelintir orang.
Tak ada pernyataan yang membumi, paling ”rakyat tak usah panik”. Ibaratnya, tak ada yang menjulurkan tali walau rakyat sudah nyaris masuk jurang.
Tak terdengar nasihat tentang, misalnya, bagaimana rakyat menyiapkan diri menghadapi kondisi perbankan. Padahal, banyak PRT panik ingin segera mencairkan tabungannya yang pas-pasan.
Lain lagi capres, cawapres, dan politisi yang mau meramaikan pesta demokrasi 2009. Krismon global dan berbagai dampaknya sesungguhnya tema menarik untuk kampanye yang sudah dimulai Juli lalu.
Namun, mereka bungkam seribu bahasa. Oh, mungkin sibuk dagang sapi sembari dagang saham, ya?
Di kala ekonomi global gonjang-ganjing, yang mereka ributkan cuma soal sepele, seperti ketua MK mundur, pembatasan usia pensiun hakim agung, atau undang-undang pemerintahan Yogyakarta. Memangnya rakyat peduli?
Itulah Negeri Ironi yang bermuka dua. Ia persis kayak simbol drama: yang satu wajah rakyat sedang menangis, yang satu wajah penguasa yang sedang tertawa.


Dari : Kompas, Selasa 14 Oktober 2008

Tidak ada komentar: