Rabu, 19 November 2008

Gempa SULTENG - Utara Sulawesi Rawan Tsunami


Berada di Atas Pertemuan Tiga Lempeng

Rabu, 19 November 2008 01:14 WIB
Jakarta, Kompas - Bagian utara Pulau Sulawesi tersusun dari banyak blok atau lempeng mikro yang saling mendesak dan cenderung membentuk rotasi pada beberapa bloknya. Didesak lempeng makro di sekitarnya, blok-blok yang dinamis ini kerap mengalami gempa besar dan berpotensi terjadi tsunami.
Dijelaskan Deputi Sistem Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Prih Haryadi, gempa Gorontalo, Senin (17/11), terjadi akibat lempeng tektonik Laut Sulawesi yang merupakan bagian dari lempeng Laut Filipina—bergerak ke selatan menghujam ke bawah semenanjung Minahasa. Mekanisme gempanya adalah sesar naik yang berpotensi menyebabkan tsunami.
Gempa Gorontalo yang mencapai magnitude 7,7 SR itu, ujar Prih, memang menimbulkan tsunami, tetapi dalam orde beberapa puluh sentimeter. Adanya gelombang pasang akibat gempa itu tercatat pada alat pengukur pasang laut (tide gauge) milik Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) di Tahuna.
Ditambahkan Haryadi Permana, pakar geofisika dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, gempa itu terjadi akibat penujaman Lempeng Sulawesi di bawah busur vulkanik Sulawesi Utara berepisentrum dangkal di pesisir timur Sulawesi.
Tsunami merusak tidak terjadi di Pantai Gorontalo, menurut Haryadi, karena dislokasi vertikalnya rendah atau sudutnya landai dan kemungkinan lain karena gempa terletak pada perpanjangan patahan geser gorontalo sehingga komponen pergeserannya dominan lateral.
Pada zona penujaman di palung Minahasa kelerengannya terlandai sekitar 20 hingga 30 derajat. Hal inilah yang menyebabkan tsunami relatif kecil.
Tsunami di kawasan Sulawesi bagian utara akibat subduksi di pesisir, menurut pakar Paleotsunami LIPI, Eko Yulianto, pernah terjadi pada masa lalu. Ia memiliki data adanya jejak tsunami masa lalu di Teluk Poso. Kejadian tsunami yang berulang pada masa lampau telah melahirkan kearifan lokal di Manado menghadapi bahaya tsunami. Eko dan Brian Atwater, pakar paleotsunami dari United States Geological Survey (USGS) berencana akan melakukan survei di lokasi tersebut pada tahun depan.
Survei GPS
Penelitian pergerakan lempeng dengan sistem global positioning system (GPS), jelas Hery Harjono, Deputi Ilmu Kebumian LIPI, pernah dilakukan para peneliti Indonesia dan Eropa dalam proyek Geodyssea pada tahun 1991. Institusi Indonesia yang terlibat di antaranya Bakosurtanal, ITB, BMKG, LIPI, dan Departemen ESDM.
Pertemuan tiga lempeng
Penelitian mereka menunjukkan Pulau Sulawesi berada di atas pertemuan tiga lempeng, yaitu Australia, Filipina, dan Sunda. Berdasarkan survei pergerakan lempeng menggunakan sistem GPS diketahui adanya deformasi elastik sekitar patahan karena adanya rotasi yang relatif cepat pada beberapa blok.
Terhadap lempeng (makro) Sunda dan Blok Makassar di sebelah barat laut Sulawesi berputar berlawanan arah jarum jam sebesar 1,4° per sejuta tahun, sedangkan di timur laut Sulawesi ada domain Bangai-Sula yang terdiri dari tiga blok, yaitu Sulawesi Utara, Manado, dan Sulawesi Timur.
Blok Sulawesi Utara yang berada di tengah domain bergerak ke barat laut dan berputar searah jarum jam pada arah 2,5° per sejuta tahun.
Di bagian timur laut domain Bangai-Sula ada Blok Manado yang berputar searah jarum jam dengan arah 3° per sejuta tahun dekat sumbunya. Lalu Blok Sulawesi Timur terjepit di antara Blok Makassar dan Blok Sulawesi Utara.
Sepanjang batas antara Blok Makassar dan Lempeng Sunda, pengukuran GPS menunjukkan adanya pergeseran 15 milimeter per tahun, yang menimbulkan akumulasi tegangan elastis di Selat Makassar. Adapun di batas tektonik antara Blok Sulawesi Utara dan Blok Manado ada patahan Gorontalo bergerak lateral sekitar 11 milimeter per tahun. Selain itu juga ada gerakan relatif 42 milimeter per tahun antara Blok Sulawesi Utara dan Blok Makassar.
Dina Sarsito, pengajar Geodesi ITB, melakukan penelitian dinamika tektonik di Sulawesi dan Selat Makassar untuk tesis doktornya di ITB. Penelitiannya menunjukkan pernah terjadi 3 gempa besar di atas 7 SR sejak tahun 1990 relatif dekat dengan pusat gempa Gorontalo yang terjadi Senin (17/11).
Gempa tektonik yang tercatat terjadi pada 18 April 1990 (7,6 SR) berjarak 70 kilometer dari episentrum gempa Gorontalo, dan pada tahun 1991 (7,5 SR). Terjadi lagi gempa berskala 7,0 SR pada 25 November 1997, yang jaraknya 40 kilometer dari pusat gempa Gorontalo.
Sementara itu, ditambahkan Prih, gempa yang terjadi dalam seminggu terakhir di Indonesia memang mencakup daerah yang luas dari Aceh, Jawa, Sulawesi, Maluku, hingga Papua dengan magnitudo bervariasi, dari sekitar 5 hingga 7,7 skala Richter.
Rentetan gempa tersebut tidak ada kaitan langsung satu dengan lainnya, kecuali gempa-gempa yang lokasinya berdekatan. Misalnya, gempa Gorontalo dan beberapa gempa setelah itu atau susulan yang berkisar 6,8 dan 5 skala Richter. (YUN)


Tidak ada komentar: