Budiarto Shambazy
Unit Cyber Crime, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri melacak penyebar e-mail tentang bank yang kesulitan likuiditas. Info disebarkan seorang karyawan perusahaan sekuritas kepada para kliennya.
Bank melapor kepada polisi, si karyawan diperiksa. Tanpa bermaksud menyalahkan, ini cermin tata kelola krisis yang keliru. E-mail ruang pribadi dan sukar menentukan ia dapat dianggap meresahkan. Kini lihat saja apa yang terjadi dengan Bank Century?
Saya tersinggung menerima SMS politik yang mengelu-elukan tokoh tertentu. Apakah Unit Cyber Crime mau mengusut pelanggaran privasi itu?
Gubernur BI meminta masyarakat berhenti memborong dollar AS. Namun, tiap ada pengumuman kekayaan, ketahuan banyak menteri yang gemar menabung dollar AS.
Sedari dulu tak ada pejabat yang cinta rupiah. Tak usah heran rakyat berbondong-bondong menjadi spekulan dollar AS.
Ini contoh-contoh yang memperlihatkan pemerintah tak punya ”pohon komunikasi” yang memadai saat krismon mengancam. Juru bicara dan Menteri Komunikasi dan Informatika diam seribu bahasa.
Beberapa bulan lalu di rubrik ini, saya menulis tentang ancaman krismon. Asumsinya, semua pemimpin mestinya sudah menjadi ”pakar krismon” yang ngerti apa yang harus dikerjakan berkat pengalaman 1997-1998.
Ternyata mereka tetap berkelas pemula. Sejumlah kalangan menyayangkan suspensi perdagangan saham, buy back saham oleh BUMN, pertentangan di kabinet, bahkan permintaan mundur seorang menteri.
Lagi-lagi tak ada yang terang benderang. Wajar aneka berita gentayangan, termasuk analisis karyawan perusahaan sekuritas itu. Masih segar dalam ingatan sikap para pejabat dalam periode medio sampai akhir 1997 menjelang krismon. Semua pejabat kayak burung beo serentak bernyanyi, ”Jangan khawatir, fundamental ekonomi kita kuat.”
Nyatanya, pada awal 2008 negara ini menjadi penderita krismon terparah di dunia. Lebih berbahaya lagi, krismon itu merembet menjadi kerusuhan Mei.
Tolong jangan main-main dengan ancaman krismon kali ini. Apalagi, ada potensi kemungkinan terjadinya benturan antara ancaman krismon dan penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2009.
Tiba saatnya pemerintah mau terang benderang, termasuk menyiapkan masyarakat agar tenang, tegar, dan tenteram. Lebih baik realistis daripada pura- pura semua beres.
Bukan bermaksud menggurui, tetapi pembentukan sistem peringatan dini (early warning system) bukan hal sukar. Juga tak sulit bagi pejabat untuk menunjukkan teladan saat krismon mengancam.
Mereka perlu memprakasai gerakan cinta rupiah yang tak memaksa. Juga penting pejabat memelopori penghematan, berhenti pergi ke luar negeri, bahkan kalau perlu rela mengurangi fasilitas dan gaji.
Tolong jangan ulangi kebijaksanaan bail out penuh tipu muslihat ala BLBI. Pengemplang buron bisa membeli kembali aset mereka sambil ongkang-ongkang kaki di luar negeri.
Sebagai ilustrasi, tiru apa yang dilakukan Amerika Serikat. Mereka, tak seperti Jepang, belum lagi memaklumatkan diri secara resmi memasuki masa resesi.
Namun, Presiden George W Bush dan Menteri Keuangan Henry Paulson berulang kali mengucapkan dua kata penting, efek jangka panjang (long term effects) dan malapetaka (calamity). Krismon kali ini akan berkepanjangan dan berakibat dahsyat sekali.
Baru separuh dari total dana talangan 700 miliar dollar AS disuntikkan kepada sekitar 20 bank dan lembaga keuangan. Separuhnya baru akan digelontorkan setelah Presiden Barack Obama dilantik 20 Januari 2009.
Maknanya satu: tiap tahap penyelamatan dipikirkan dan dikerjakan secara hati-hati. Rakyat dapat menyaksikan proses itu secara terbuka lewat koran, internet, dan televisi.
Kongres bekerja maraton lewat dengar pendapat puluhan kali. Industrialis, bankir, pakar, pejabat, mantan pejabat, dan serikat buruh memberikan kesaksian dengan jujur sekali.
Sebagian, seperti mantan Gubernur Bank Sentral AS Allan Greenspan, bahkan mengaku salah dan minta maaf. Tak mustahil ia (juga beberapa bankir dan senator) akan terkena sanksi.
Kini ”Tiga Besar” otomotif (Ford, General Motors, dan Chrysler) menunggu dana talangan 25 miliar dollar AS. Jika akhir tahun 2008 dana itu gagal keluar, sekitar 3 juta orang kehilangan pekerjaan.
Sampai akhir tahun, PHK di AS mencapai lebih dari 1 juta orang. Citicorp, DHL, AIG, Lehman Brothers, dan raksasa lain telah mengurangi puluhan ribu karyawan masing- masing.
Tiap pemangku kepentingan ekonomi menyadari makna dari kata long term effects dan calamity tadi. Bukan apa-apa, mereka amat khawatir Depresi Besar 1932 terulang kembali.
Itu sebabnya tata kelola krismon di sana menjunjung tinggi prinsip ”tak ada dusta di antara kita”. Mereka yang salah minta maaf dan bisa dijatuhi sanksi, yang benar-benar butuh dana pun diperiksa secara saksama.
Soalnya dana 700 miliar dollar AS itu uang rakyat—bukan milik Kongres pemerintah. Berbeda dengan tata kelola krismon 1997-1998 yang menganggap dana talangan milik nenek moyang mereka.
Saya khawatir tata kelola krismon 1997-1998 terulang kembali. Soalnya pepatah ”keledai tak mau terantuk dua kali” sering kali tak berlaku di negeri ini.
Saya senang ancaman krismon mengubah drastis persepsi rakyat tentang kemampuan caleg/capres ke Pemilu/Pilpres 2009. Boleh saja ”mau” jadi caleg/capres, tetapi rakyat tahu Anda belum tentu ”mampu”.
Anda boleh punya semuanya. Namun, satu hal yang Anda belum tentu punya adalah rasa ”malu”.
Dari Kompas, Sabtu 22 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar