Minggu, 16 November 2008

Kontroversi Super Toy

Ada tiga hal utama untuk mencapai sesuatu: kerja keras, fokus, dan akal sehat.
Thomas Alva Edison (1847-1931)
Hari-hari ini, pertanian di Indonesia diguncang padi Super Toy HL-2 yang serba super. Dengan kapasitas produksi nasional rata-rata 4,54 ton gabah kering giling per hektar, padi Super Toy diklaim bisa mencapai 15,5 ton. Kalau padi lain hanya sekali panen, Super Toy bisa tiga kali.
Siapa yang tidak tergiur?
Apalagi tahun 2007 Program Peningkatan Beras Nasional menargetkan produksi padi 2 juta ton beras atau 3,5 juta ton gabah kering giling, naik 6,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ini yang harus dicapai dengan memperluas areal dan meningkatkan produksi per satuan luas.
Namun, perluasan areal perlu waktu karena lahan-lahan baru biasanya masih belum optimal, misalnya lahan gambut di Kalimantan atau pasang surut di Sumatera. Maka, peningkatan produktivitas lewat padi unggul menjadi andalan.
Perkembangan padi
Sejarah pengembangan padi dimulai dengan memilih tanaman padi yang baik seiring berkembangnya masyarakat agraris, berlanjut dengan penyilangan antartanaman padi dan bioteknologi ketika ilmu pengetahuan bertambah.
Susanto dan kawan-kawan dalam tulisan ”Perkembangan Pemuliaan Padi Sawah di Indonesia” (Jurnal Litbang Pertanian, 2003) menyebutkan, awalnya adalah tahun 1920-an ketika padi-padi yang menunjukkan sifat baik mulai dikumpulkan. Muncullah varietas Bengawan, 1943, hasil perbaikan varietas lokal.
Tahun 1967 dikembangkan padi PB yang genjah dan responsif terhadap pemupukan sehingga hasilnya tinggi. Ada PB5, PB8, yang silangannya dengan padi lokal menghasilkan Cisadane yang terkenal itu.
Kemudian datanglah era padi IR tahun 1977. Perbaikan dari padi PB ini lebih tahan hama penyakit dan rasanya enak, dengan IR 64 sebagai varietas yang paling terkenal. Dilepas tahun 1986, padi ini amat digemari petani dan konsumen sehingga paling luas ditanam di Indonesia.
Namun, karena varietas-varietas yang dilepas saling berkerabat, keragamannya kurang dan potensi hasilnya tidak naik signifikan. Dikembangkanlah padi hibrida yang memanfaatkan fenomena heterosis (munculnya sifat unggul pada genetik yang beragam) dan padi tipe baru dengan keunggulan morfologi.
Tipe baru
Super Toy dengan varietas Rojolele dan Pandanwangi sebagai tetuanya termasuk padi tipe baru. Klaimnya yang serba super membuat banyak pihak, yang maunya serba instan, lupa bahwa banyak persyaratan dasar yang harus dipenuhi sebelum menjadi varietas unggulan.
Tuyung Supriyadi, yang memuliakan Super Toy HL-2, mengungkapkan, benih yang ditanam petani adalah hasil persilangan turunan kelima (Kompas, 21/4). Padahal, dalam pemuliaan tanaman baru stabil setelah turunan keenam. ”Baru kemudian diuji coba di lapangan,” kata Prof Dr Sriani Sujiprihati, Kepala Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman IPB.
Hal lain yang kurang dipahami adalah padi yang bisa dipanen tiga kali tidak otomatis menguntungkan petani karena hasilnya terus menurun. ”Menanam cara ratun (bisa dipanen lebih dari sekali) memang harus sesuai kebutuhan usaha tani,” kata Dr Hajrial Aswidinnoor, pemulia tanaman dari IPB.
Ratun menjadi berarti bagi petani yang sangat miskin dan tak punya biaya memproduksi padi dari awal. Pada beberapa agrosistem yang tanggung untuk dua atau tiga kali masa tanam, ratun menjadi solusi.
Demikian pula di lahan pasang surut atau sawah rawa yang sering kekurangan tenaga kerja untuk dua kali masa tanam, ratun bisa menambah hasil panen.
”Akan tetapi, pada agrosistem yang modal tidak menjadi masalah dan tidak ada waktu tanggung di antara musim tanam lebih baik tanam ulang. Secara nasional ratun merugikan potensi produksi karena hasilnya lebih rendah daripada yang pertama,” kata Hajrial.
Langgar prosedur
Selain informasi yang serba minim ke petani, pelanggaran prosedur lain adalah benih yang belum lolos pelepasan varietas sudah diberikan kepada petani dan ditanam dalam skala luas.
Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, suatu varietas sampai ke petani setelah lewat jalan panjang, mulai dari melapor ke Badan Benih Nasional, uji adaptasi, penilaian, sampai ke pelepasan varietas. Itu pun masih harus disertai riwayat tanaman dan deskripsi unggulan yang jelas.
Hajrial, yang sudah merakit padi tipe baru sejak tahun 1999, sebagai contoh, sampai hari ini masih mengujinya di 10 tempat—Bogor, Indramayu, Kuningan, Kendal, Madiun, Denpasar, Mataram, Maros, Tanah Datar, dan Kapuas—dengan petakan 4 x 5 meter, rancangan statistik lengkap, dan ada tiga ulangan. Ia harus bolak-balik ke lapangan untuk mengamati dan mencatat setiap perkembangannya.
Itu pun, hasil yang diperoleh ”hanya” mencapai 7-8 ton gabah kering giling per hektar, separuh dari Super Toy HL-2.
Menurut Sriani, memuliakan tanaman memang tak mudah, lama, dan mahal. Untuk sampai ke turunan keenam saja perlu waktu tiga tahun. Belum lagi uji adaptasi yang bisa berlangsung dua tahun. ”Perlu sedikitnya lima tahun untuk menghasilkan satu varietas baru,” tuturnya.
Memang tak ada yang instan. Kalau saja ada kerja keras dan akal sehat, tak akan ada petani yang dirugikan. Tak perlu kontroversi ini.

Dari KOMPAS - Rabu, 10 September 2008 - Oleh : Agnes Aristiarini

Tidak ada komentar: